
RI News Portal. Jakarta – Senin (25/8/2025), situasi di sekitar Gedung DPR/MPR/DPD RI kembali memperlihatkan bagaimana ruang demokrasi di Indonesia menghadapi ujian. Aksi unjuk rasa yang sejak pagi berlangsung kondusif, berubah tegang menjelang siang. Sekitar pukul 12.50 WIB, aparat Kepolisian menembakkan meriam air (water cannon) untuk meredam massa yang mulai bertindak anarkis dengan melempari petugas di kawasan Jalan Gatot Subroto.
Pantauan lapangan memperlihatkan aparat berlapis membentuk barikade, menyisir jalan protokol, sekaligus memberikan imbauan berulang agar massa mundur dan membubarkan diri. Namun, perlawanan berupa pelemparan benda tumpul masih terjadi, sehingga Kepolisian menambah upaya dengan pelontaran gas air mata. Massa kemudian terdesak ke arah Jalan Gerbang Pemuda, meninggalkan area utama depan kompleks parlemen.
Secara konstitusional, kebebasan berpendapat di muka umum dijamin oleh UUD 1945 dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Namun, hak tersebut dibatasi oleh kewajiban menjaga ketertiban umum, melindungi keselamatan orang lain, dan menghormati hak asasi pihak ketiga.

Dalam konteks ini, tindakan aparat menggunakan sarana non-mematikan seperti water cannon dan gas air mata dapat dipandang sebagai bentuk use of force minimal untuk mengendalikan massa. Tidak adanya penggunaan senjata api dalam pengamanan juga menunjukkan penerapan prinsip necessity dan proportionality sebagaimana dianjurkan oleh standar hak asasi manusia internasional.
Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Polisi Susatyo Purnomo Condro, menegaskan bahwa pengamanan melibatkan 1.250 personel gabungan Polri, TNI, dan Pemda DKI. Pendekatan persuasif-humanis dikedepankan, dengan menekankan bahwa tugas aparat adalah memastikan jalannya penyampaian aspirasi tanpa mengganggu aktivitas masyarakat lainnya.
“Pengamanan ini bukan untuk membatasi ruang demokrasi, tetapi untuk menjaga agar kebebasan berekspresi tidak melampaui batas hukum dan mengancam keselamatan publik,” ujarnya.
Baca juga : Pelantikan DPD Gelora Trenggalek: Antara Optimisme Politik Lokal dan Harapan Masyarakat
Insiden ini merefleksikan dilema klasik demokrasi: antara menjamin hak masyarakat untuk berdemonstrasi dan kewajiban negara menjaga ketertiban umum. Bagi pengunjuk rasa, eskalasi aksi menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap isu yang diperjuangkan. Namun bagi aparat, stabilitas sosial menjadi prioritas utama agar tidak terjadi gangguan lebih luas terhadap fungsi pemerintahan maupun aktivitas warga Jakarta.
Dengan demikian, peristiwa ini dapat dipandang sebagai pembelajaran kolektif. Negara perlu terus mengasah strategi pengelolaan unjuk rasa agar tidak hanya berorientasi pada keamanan, tetapi juga membangun kepercayaan publik bahwa kebebasan berpendapat benar-benar dijamin. Sebaliknya, massa aksi perlu memahami batasan hukum agar aspirasi mereka tidak kehilangan legitimasi akibat tindakan anarkis.
Pewarta : Yogi Hilmawan
