
RI News Portal. Painan, 19 Oktober 2025 – Di lereng bukit-bukit hijau Kecamatan Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, angin bertiup kencang membawa cerita duka dari lahan-lahan sawit yang dulu menjadi harapan hidup. Sengketa tanah ulayat antara warga setempat dan PT Sukses Jaya Wood (SJW), pemegang Hak Guna Usaha (HGU) nomor 08, kembali bergema di ruang publik. Kali ini, sorotan tajam datang dari tuduhan pelanggaran prosedur administratif dan dugaan intimidasi yang membuat warga merasa terpinggirkan di tanah sendiri.
Tokoh masyarakat yang akrab disapa Pak Malur, seorang petani berusia 62 tahun yang kehilangan sebagian kebunnya, menjadi salah satu suara paling lantang. Dalam wawancara eksklusif, ia mengungkap kronologi yang menurutnya penuh ironi. HGU tersebut diterbitkan pada 2013, tapi eksekusi lahan di bantaran Sungai Sindang Alam baru dilakukan lima tahun kemudian, tepat saat tanaman sawit warga sudah berbuah lebat dan siap panen. “Bayangkan, kebun yang kami rawat bertahun-tahun, tiba-tiba dicabut pakai alat berat excavator. Yang lebih menyedihkan, proses itu diawasi oknum aparat kepolisian. Seolah hak kami bukan apa-apa,” cerita Pak Malur dengan suara parau, sambil menunjukkan foto-foto puing tanaman yang masih tersimpan di ponsel tuanya.

Menurut Pak Malur, tidak pernah ada surat penyerahan tanah ulayat dari ninik mamak Silaut kepada perusahaan. Yang ada hanyalah surat kesepakatan tanda batas, yang jelas berbeda dengan dokumen penyerahan hak. Ia juga mempertanyakan keabsahan HGU itu sendiri. “Surat keputusan awalnya menyebutkan lokasi di Kecamatan Silaut tahun 2013, tapi badan hukum PT SJW baru terbentuk belakangan. Ini seperti membangun rumah di atas pasir—rapuh dan rawan runtuh,” tegasnya. Lebih lanjut, Pak Malur menyoroti ketidakhadiran papan nama atau kantor resmi perusahaan di wilayah Lunang dan Silaut. “Di lapangan, tak ada tanda-tanda operasional resmi. Ini menimbulkan dugaan penghindaran pajak dan praktik yang tidak transparan, seolah perusahaan ini hantu yang hanya muncul saat merebut lahan.”
Sengketa ini bukan sekadar pertarungan kertas-kertas birokrasi, tapi juga soal hak hidup masyarakat adat yang telah menggarap lahan turun-temurun. Data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten menunjukkan bahwa wilayah HGU PT SJW seluas 1.400 hektare awalnya ditetapkan di Kecamatan Lunang, tapi ekspansi ke Silaut diduga melanggar Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang patok batas wilayah, yang memisahkan kedua kecamatan dengan Sungai Sindang Alam sebagai garis demarkasi alami. Warga mengklaim bahwa ribuan hektare kebun mereka kini berada di bawah bayang-bayang klaim perusahaan, tanpa kompensasi yang layak.
Sementara itu, sikap diam dari Bupati Pesisir Selatan atas isu ini semakin menambah ketegangan. Warga seperti Ibu Siti, seorang janda yang kehilangan sumber penghasilan utama, mengaku sering diintimidasi oleh oknum aparat agar bungkam. “Kami disuruh diam, katanya ini urusan besar. Tapi tanah ini warisan leluhur, bukan barang dagangan yang bisa dirampas seenaknya,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Meski bupati sebelumnya mengakui adanya pelanggaran oleh perusahaan serupa di wilayah tetangga, janji tindakan tegas tampaknya belum menjangkau Silaut. Hal ini memicu pertanyaan: apakah prioritas pembangunan daerah lebih condong ke investor daripada rakyat kecil?
Di tengah hiruk-pikuk ini, kuasa hukum warga, Advokat Muda Edo Mandela, SH, muncul sebagai benteng perlawanan. “Ini bukan hanya persoalan administrasi pertanahan, tapi keadilan sosial dan hak hidup masyarakat adat. Kami akan menempuh jalur hukum lanjut, mulai dari gugatan pembatalan HGU hingga tuntutan restorasi lahan,” katanya tegas saat ditemui di kantor lesehan di pinggir Painan. Edo menekankan bahwa kasus ini mencerminkan pola sistemik di mana sertifikat HGU sering kali diterbitkan tanpa kajian mendalam terhadap hak ulayat, melanggar Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang menjamin prioritas masyarakat adat.

Sebagai pengingat moral yang dalam, Edo merujuk pada Al-Qur’an, Surah An-Nisa ayat 29: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” Ayat ini, menurutnya, menjadi landasan etis bahwa mengambil hak orang lain secara tidak sah adalah kezaliman yang dilarang, baik oleh hukum negara maupun Tuhan. “Masyarakat Silaut hanya menuntut hak sah mereka, yang dijamin konstitusi Republik Indonesia. Ini perjuangan untuk martabat, bukan dendam,” tambah Edo, yang kini mengumpulkan bukti-bukti baru termasuk rekaman intimidasi dan dokumen palsu dugaan.
Perjuangan warga Silaut kini memasuki fase krusial. Dengan dukungan dari kelompok advokasi hak adat, mereka berharap putusan pengadilan bisa menjadi preseden bagi kasus serupa di Sumatra Barat. Di tengah guyuran hujan deras yang membasahi tanah gersang bekas excavator, Pak Malur berdiri tegar di depan kebunnya yang rusak. “Kami tak akan menyerah. Tanah ini darah daging kami, dan keadilan harus kembali ke sini,” katanya. Apakah suara petani kecil ini akan didengar, atau tenggelam dalam gelombang investasi? Waktu akan memberi jawaban, tapi bagi warga Silaut, setiap hari adalah pertarungan untuk bertahan.
Pewarta : Sami S
