RI News Portal. Ramallah/Jerusalem, 21 November 2025 – Gelombang kekerasan yang dilakukan pemukim Israel di Tepi Barat mencapai titik kritis pada November 2025, memaksa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menggelar rapat darurat kabinet keamanan pada Kamis malam (20/11). Pertemuan tertutup itu melibatkan pucuk pimpinan militer, Shin Bet, dan kepolisian nasional untuk membahas strategi penanganan yang semakin mendesak.
Data Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menunjukkan bahwa Oktober 2025 menjadi bulan dengan jumlah serangan pemukim tertinggi sejak pencatatan dimulai pada 2006, yaitu lebih dari 260 insiden yang mengakibatkan korban luka dan kerusakan harta benda. Jika ditotal hingga akhir September, jumlah serangan sepanjang 2025 telah melampaui 2.660 kasus, angka yang menunjukkan eskalasi sistematis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Para pengamat politik menilai bahwa meningkatnya frekuensi dan intensitas serangan tidak dapat dilepaskan dari komposisi koalisi pemerintahan Netanyahu saat ini, yang memberikan posisi strategis kepada dua tokoh sayap kanan paling berpengaruh dalam gerakan pemukim: Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang merangkap sebagai menteri tambahan di Kementerian Pertahanan dan berwenang menetapkan kebijakan pemukiman, serta Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, yang mengendalikan kepolisian nasional. Kedua figur ini secara terbuka menentang pembatasan aktivitas pemukim dan kerap membela tindakan kelompok-kelompok radikal.

Di lapangan, eskalasi juga ditandai dengan pengumuman Administrasi Sipil Israel pada 19 November 2025 yang akan menyita sekitar 1.800 dunam (450 hektar) lahan di kawasan Sebastia, situs arkeologi Palestina yang dilindungi. Peace Now menyebut langkah ini sebagai pengambilalihan tanah bersejarah terluas dalam beberapa dekade terakhir.
Sementara itu, pendirian pos pemukiman ilegal baru di dekat Betlehem pada pekan ini dirayakan secara terbuka oleh kelompok pemukim, menunjukkan rasa impunitas yang semakin kuat di kalangan pelaku.
Tekanan internasional kini datang dari arah yang tidak biasa. Singapura, negara yang jarang mengambil sikap tegas terhadap konflik Israel-Palestina, pada Jumat (21/11) mengumumkan sanksi finansial dan larangan masuk terhadap empat aktivis pemukim terkemuka: Meir Ettinger (cucu Rabbi Meir Kahane), Elisha Yered (tokoh Hilltop Youth), Ben-Zion Gopstein (pemimpin Lehava), dan Baruch Marzel (mantan ajud Kahane). Langkah Singapura ini menyusul sanksi serupa yang sebelumnya diberlakukan Uni Eropa dan Inggris, namun dicabut oleh pemerintahan Donald Trump sejak kembali berkuasa pada Januari 2025.
Para pakar hubungan internasional menilai bahwa melonjaknya kekerasan pemukim tidak hanya mencerminkan kegagalan penegakan hukum domestik Israel, tetapi juga mengancam kredibilitas rencana perdamaian Gaza yang baru-baru ini disahkan Dewan Keamanan PBB. Rencana tersebut mengandalkan stabilitas di Tepi Barat sebagai prasyarat keberhasilan penempatan pasukan internasional dan pembukaan kembali jalur diplomasi menuju solusi dua negara.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS menyatakan pada Jumat malam bahwa Washington “sangat prihatin” dengan perkembangan tersebut dan terus mendesak Israel untuk mengambil tu kas konkret guna menghentikan kekerasan serta menegakkan supremasi hukum. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada indikasi bahwa pemerintah Israel akan mengambil langkah disiplin terhadap menteri-menteri senior yang secara ideologis mendukung perluasan pemukiman.
Situasi di Tepi Barat kini berada pada titik rawan yang dapat menentukan arah konflik dalam beberapa tahun mendatang: apakah akan terjadi de-eskalasi melalui penegakan hukum yang kredibel, atau justru konsolidasi lebih lanjut dari proyek aneksasi de facto yang didorong oleh elemen paling radikal dalam pemerintahan Israel saat ini.
Pewarta : Anjar Bramantyo

