
RI News Portal. Manado, 26 Agustus 2025 – Ketua Umum Ormas Adat Brigade Nusa Utara Indonesia (BNUI), Stenly Sendouw, SH, menyatakan keprihatinannya atas perjuangan mantan guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Ing Mokoginta, dalam memperjuangkan hak atas tanah seluas 1,7 hektar di Kelurahan Gogagoman, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara (Sulut). Meskipun didukung oleh dua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah), kasus ini belum menemukan titik terang dan masih berproses di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Dalam wawancara dengan redaksi, Stenly Sendouw menegaskan komitmennya untuk mendukung perjuangan Prof. Ing Mokoginta. Ia berjanji akan mengerahkan ribuan personel ormas adat di Sulut untuk melakukan aksi demonstrasi dengan menduduki kantor-kantor strategis, seperti Polda Sulut, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulut, Pengadilan Negeri, dan Kantor Gubernur Sulut. Aksi ini bertujuan menuntut keadilan bagi Prof. Ing Mokoginta, yang disebutnya sebagai abdi negara yang telah mengabdi selama puluhan tahun, namun haknya atas tanah dirampas oleh kelompok yang diduga sebagai mafia tanah.

“Disini saya sampaikan, bantuan ini murni saya lakukan demi membela rakyat, tidak ada kepentingan atau lain sebagainya dari pihak manapun. Kasihan seorang wanita paruh baya turun ke jalan menuntut keadilan, namun sampai hari ini tidak ada kejelasan sama sekali,” ujar Sendouw dengan tegas. Ia juga meminta dukungan dari Pemerintah Provinsi Sulut, khususnya Gubernur Mayjen TNI (Purn) Yulius Selvanus (YSK), untuk mempercepat penyelesaian kasus ini. Menurutnya, permasalahan ini telah menjadi perhatian publik tidak hanya di Sulut, tetapi juga di tingkat nasional dan internasional.
Sendouw menambahkan bahwa kasus ini mungkin belum sampai ke telinga Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Oleh karena itu, ia berharap Gubernur YSK dapat menjadi jembatan untuk menyampaikan permasalahan ini ke pemerintah pusat agar segera mendapatkan penyelesaian yang adil. “Kami berharap ada keadilan bagi rakyat Sulut yang menjadi korban mafia tanah,” tegasnya.
Baca juga : Tragedi di Mandailing Natal: Ayah Kandung Ditangkap atas Dugaan Pencabulan terhadap Anak
Berdasarkan dokumen yang diperoleh redaksi, laporan terkait kasus ini telah diajukan sejak 7 Desember 2020 dengan nomor polisi LP/541/XII/2020/Sulut/SPKT. Laporan tersebut diajukan oleh kuasa hukum Prof. Ing Mokoginta, Asa Saudale, yang melaporkan 12 individu, yaitu Welly Mokoginta alias Tiong, Jantje Mokoginta alias Hian, Tjenny Mokoginta, Maxy Mokoginta, Stella Mokoginta, Herry Mokoginta alias Kian, Corry Mokoginta, Datu Putra Dilapangga, Oktavianus Takasihaeng, Enstien Mondong, Alfrits Mamahit, dan Herman Sugeng. Dari 12 terlapor, sembilan di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik. Namun, hingga kini, belum ada penahanan yang dilakukan oleh Polda Sulut.
Kuasa hukum Prof. Ing Mokoginta lainnya, Nathaniel Hutagaol, SH, MH, menyatakan bahwa perjuangan hukum ini tidak hanya dilakukan melalui jalur perdata dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tetapi juga melalui jalur pidana sejak 2020. Ia menyoroti adanya kejanggalan dalam penanganan kasus ini, terutama ketika laporan polisi ditarik ke Bareskrim Polri pada 2022. Menurutnya, status tersangka yang ditetapkan pada 2021 tiba-tiba hilang tanpa melalui putusan praperadilan, yang menurut hukum merupakan satu-satunya cara untuk membatalkan status tersangka. “Jika seorang profesor saja harus menjadi pengemis keadilan, bagaimana nasib rakyat kecil yang mencari keadilan?” ujar Hutagaol, menyinggung ironi sistem penegakan hukum di Indonesia.
Kasus ini juga mendapat perhatian dari anggota DPR RI, Marthin Daniel Tumbelaka (MDT), yang menyatakan telah berkoordinasi dengan Bareskrim Polri sebanyak tiga kali. Namun, Prof. Ing Mokoginta menegaskan bahwa tidak pernah ada pertemuan dengan pihak terlapor atau pembicaraan mengenai ganti rugi sebesar Rp100 miliar, sebagaimana diklaim oleh beberapa pihak. Ia menilai klaim tersebut tidak sesuai dengan fakta dan menegaskan bahwa yang dibutuhkan adalah keadilan hukum yang objektif.
Aktivis Sulut, Jeffrey Sorongan, turut mengutuk keras dugaan keterlibatan oknum aparat penegak hukum yang tidak profesional dalam menangani kasus ini. Ia mempertanyakan apakah keadilan di Indonesia hanya milik segelintir orang, sementara rakyat kecil terus berjuang untuk mendapatkan haknya.
Kasus sengketa tanah ini menjadi sorotan karena melibatkan seorang akademisi terkemuka yang telah mengabdi selama puluhan tahun, namun masih harus berjuang selama delapan tahun untuk merebut kembali haknya. Dengan dukungan dari Ormas Adat BNUI dan desakan kepada pemerintah daerah serta pusat, kasus ini diharapkan segera menemukan penyelesaian yang adil, sekaligus menjadi cerminan komitmen penegakan hukum di Indonesia.
Pewarta : Marco Kawulus
