
RI News Portal. Jakarta, 16 Oktober 2025 – Dalam era globalisasi yang semakin terhubung, Direktur Jaminan Produk Halal (JPH) Kementerian Agama, Fuad Nasar, menegaskan bahwa sistem jaminan produk halal bukan sekadar kewajiban ritual keagamaan, melainkan fondasi strategis untuk membangun ekosistem konsumsi yang inklusif, berkelanjutan, dan kompetitif di pasar dunia. Pernyataan ini disampaikan Fuad saat berbicara di Forum Inovasi Halal Nasional di Jakarta, Kamis (16/10), di mana ia menggarisbawahi bagaimana pendekatan halal mampu menyatukan fitrah manusia dengan dinamika ekonomi modern.
“Bayangkan halal sebagai jembatan universal: sesuai dengan naluri bawaan manusia yang secara alami condong pada yang baik, bersih, dan suci. Tak peduli latar belakang keyakinan apa pun, memilih produk halal adalah keputusan win-win – pasti bergizi, higienis, dan ramah lingkungan,” ungkap Fuad dengan penuh keyakinan. Ia menjelaskan bahwa esensi kehalalan diverifikasi melalui proses ketat: fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Komite Fatwa, diikuti sertifikasi resmi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sistem ini menyeluruh, mencakup setiap tahap rantai pasok – dari pemilihan bahan baku hingga penyajian akhir – memastikan nol kontaminasi unsur haram.
Lebih dari sekadar label, jaminan halal hadir sebagai katalisator transformasi bisnis. Fuad menyoroti bagaimana sistem ini tak hanya menenangkan hati konsumen, tapi juga menciptakan diferensiasi pasar yang nyata. “Produk halal bukan lagi niche; ia adalah premium asset. Kepercayaan konsumen melonjak, dan secara ekonomi, ini membuka pintu ekspor ke 1,8 miliar populasi muslim global yang mensyaratkan assurance halal,” tambahnya. Contohnya, pelaku usaha kecil-menengah di Indonesia kini bisa bersaing dengan raksasa multinasional, berkat nilai tambah ini yang diakui oleh standar internasional seperti ISO dan regulasi Uni Eropa.

Namun, Fuad tak berhenti di ranah regulasi. Ia menekankan urgensi literasi halal holistik sebagai senjata utama. “Jangan hanya bicara hukum fiqih; kita perlu dakwah halal dalam bahasa budaya pop dan sains modern. Misalnya, jelaskan bagaimana proses halal mengurangi risiko alergen melalui data laboratorium, atau bagaimana ia selaras dengan tren sustainability seperti zero-waste production,” katanya. Pendekatan ini, lanjut Fuad, akan membuat konsep halal lebih relatable bagi generasi Z dan milenial, yang 70% di antaranya memprioritaskan etika konsumsi berdasarkan survei internal Kemenag terbaru.
Jejak panjang Indonesia dalam halal assurance menjadi bukti komitmen berkelanjutan. Sejak 1976, Kementerian Kesehatan telah mewajibkan penandaan produk berbahan babi – langkah pionir yang berevolusi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014, menjadikan Indonesia negara pertama di dunia dengan kewajiban sertifikasi halal universal. Puncaknya, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024, yang memaksa label “tidak halal” pada produk haram, menciptakan transparansi penuh dan melindungi konsumen dari jebakan pasar gelap.
“Halal adalah DNA mutu global, bukan sekadar identitas agama. Ini momen emas bagi UMKM lokal: tingkatkan daya saing, taklukkan pasar ASEAN hingga Timur Tengah,” tutup Fuad, sambil mengajak pelaku usaha segera daftar sertifikasi via portal BPJPH. Dengan proyeksi pasar halal dunia capai US$3 triliun pada 2030, Indonesia – sebagai produsen terbesar – siap memimpin revolusi ini.
Pewarta : Vie
