
RI News Portal. Aceh Barat, 22 Agustus 2025 – Di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap degradasi lingkungan di wilayah Aceh Barat, Komunitas Peduli Krueng Woyla (KUPUEWO) telah menyatakan komitmennya untuk bergabung dalam inisiatif kolektif yang dipimpin oleh Yayasan Wahana Generasi Aceh (WANGSA) dan berbagai organisasi masyarakat sipil lainnya. Gerakan ini difokuskan pada upaya penyelamatan ekosistem Sungai Woyla, yang semakin terancam oleh operasi pertambangan emas yang dilakukan oleh PT Magellanic Garuda Kencana (MGK) serta aktivitas tambang ilegal di sepanjang aliran sungai tersebut. Pendekatan ini tidak hanya menekankan advokasi hukum, tetapi juga integrasi perspektif ekologis dan sosial-ekonomi untuk memastikan keberlanjutan sumber daya alam yang vital bagi masyarakat lokal.
Krueng Woyla, sebagai salah satu sungai strategis nasional di bawah pengawasan Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera I Aceh, memainkan peran krusial sebagai penghubung antar-kabupaten dan memiliki nilai historis yang mendalam bagi masyarakat Aceh. Sungai ini bukan hanya sumber air irigasi dan kehidupan sehari-hari bagi komunitas di sepanjang alirannya, tetapi juga ekosistem yang mendukung biodiversitas lokal, termasuk habitat ikan dan vegetasi riparian yang rentan terhadap polusi. Namun, aktivitas pertambangan emas, khususnya penggunaan kapal penggeruk yang semakin bertambah jumlahnya, telah menyebabkan kerusakan ekologis yang nyata, seperti sedimentasi berat, penurunan kualitas air, dan gangguan terhadap rantai makanan akuatik. Penelitian lingkungan independen menunjukkan bahwa metode penambangan semacam ini dapat memicu erosi sungai dan kontaminasi merkuri, yang berpotensi mengancam kesehatan masyarakat jangka panjang.

Ketua KUPUEWO, Irsadi Aristora, S.Hut., M.H., seorang ahli kehutanan dan hukum lingkungan, menyoroti ketidakadilan dalam penegakan aturan oleh pemerintah dan aparat hukum. “Pemerintah tidak boleh membiarkan kerusakan ini berlanjut, karena Krueng Woyla adalah urat nadi kehidupan bagi masyarakat di kawasan sibak sungai ini,” katanya dalam pernyataan resminya. Ia menambahkan bahwa sungai ini harus dilindungi secara ketat, mengingat statusnya sebagai aset strategis yang menghubungkan kepentingan regional dan memiliki warisan budaya Aceh yang tak tergantikan. Aristora juga menekankan perlunya sikap tegas tanpa pandang bulu dari penegak hukum untuk mencegah eksploitasi lebih lanjut.
Dalam konteks hukum, PT MGK pernah menerima surat peringatan terakhir dari Pemerintah Aceh pada 31 Januari 2023, yang menuntut penghentian operasi karena dugaan pelanggaran izin eksplorasi. Meskipun demikian, hingga pertengahan 2025, tidak ada tindak lanjut konkret, termasuk setelah pemeriksaan lapangan oleh Polda Aceh pada 25 Juni 2025. WANGSA, di bawah kepemimpinan Jhony Howord, telah memimpin aksi protes yang melibatkan elemen mahasiswa dari Universitas Teuku Umar (UTU), menuntut transparansi dan penegakan hukum yang adil. Organisasi ini bahkan menyebut PT MGK sebagai entitas yang layak dikategorikan sebagai tambang ilegal karena ketidakpatuhan terhadap regulasi lingkungan. Baru-baru ini, masuknya 11 kontainer yang diduga untuk perakitan kapal penggeruk tambahan telah memperburuk situasi, dengan tiga unit kapal sudah aktif beroperasi, meskipun tanpa respons signifikan dari otoritas.
Gerakan ini mencerminkan dinamika konflik sumber daya alam di wilayah pasca-konflik seperti Aceh, di mana ketergantungan ekonomi pada pertambangan sering bertabrakan dengan prinsip keberlanjutan. Analisis dampak sosial-ekonomi menunjukkan bahwa degradasi sungai dapat mengurangi produktivitas pertanian dan perikanan lokal, yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat. Selain itu, keterlibatan komunitas seperti KUPUEWO dan WANGSA menandai pergeseran menuju partisipasi sipil yang lebih inklusif, di mana pengetahuan lokal digabungkan dengan advokasi berbasis bukti untuk menekan pemerintah.
KUPUEWO menyatakan kesiapan untuk mengintegrasikan sumber daya manusia, jaringan, dan keahlian dengan WANGSA serta lembaga lain dalam aksi bersama. “Kami akan berdiri teguh bersama rakyat untuk menolak segala bentuk eksploitasi yang melanggar hukum dan mengancam keberlanjutan Krueng Woyla,” tegas Aristora. Gerakan ini tidak hanya menargetkan PT MGK, tetapi juga tambang ilegal lainnya yang berkontribusi pada kerusakan serupa.
Dengan eskalasi ini, diharapkan pemerintah pusat dan daerah segera mengintervensi melalui pendekatan holistik, termasuk restorasi ekosistem dan dialog multipartai. Keberhasilan gerakan semacam ini akan menjadi preseden penting bagi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, di mana keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian menjadi semakin mendesak.
Pewarta : JS
