RI News Portal. Istanbul, 10 November 2025 – Presiden Recep Tayyip Erdogan mengumumkan bahwa delegasi senior Turki akan bertolak ke Pakistan pekan depan guna mempercepat negosiasi gencatan senjata antara Islamabad dan Kabul. Pengumuman ini menandai eskalasi peran Turki sebagai mediator regional di tengah ketegangan berkepanjangan di Garis Durand.
Delegasi yang dipimpin Menteri Luar Negeri Hakan Fidan, Menteri Pertahanan Yasar Guler, dan Kepala Organisasi Intelijen Nasional (MIT) Ibrahim Kalin dijadwalkan membahas mekanisme verifikasi gencatan senjata, protokol pencegahan insiden lintas batas, serta kerangka kerjasama intelijen anti-terorisme. Kunjungan ini melanjutkan momentum dari putaran ketiga dialog Afghanistan-Pakistan di Istanbul yang dimulai Rabu lalu, di mana kedua pihak sepakat untuk mengeksplorasi solusi struktural terhadap konflik perbatasan.
“Saat ini, partisipasi kami dalam proses ini berkembang ke arah yang positif. Kami berharap hasilnya akan menguntungkan,” ujar Erdogan kepada wartawan di pesawat kepresidenan saat kembali dari kunjungan resmi ke Azerbaijan. Ia menekankan bahwa kunjungan delegasi akan “menyelesaikan proses yang dimulai di Doha dan Ankara,” merujuk pada kesepakatan gencatan senjata 19 Oktober yang difasilitasi Qatar.

Ketegangan di Garis Durand—perbatasan sepanjang 2.640 kilometer yang diakui Pakistan namun ditolak Afghanistan—mencapai puncaknya pada pertengahan Oktober. Kabul menuduh Islamabad melakukan pelanggaran wilayah udara dan serangan udara terhadap target di provinsi Paktika dan Khost. Sebagai respons, Kementerian Pertahanan Afghanistan melaporkan pelaksanaan “operasi balasan” pada 15 Oktober, yang memicu bentrokan senjata di beberapa titik perbatasan.
Pasca-insiden, Afghanistan meningkatkan status siaga pasukan keamanannya menjadi “tempur penuh” di sepanjang garis demarkasi. Situasi ini memperburuk hubungan bilateral yang telah tegang sejak pengambilalihan Taliban pada 2021, terutama terkait isu pengungsi, perdagangan, dan kelompok militan seperti Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP).
Kesepakatan Doha pada 19 Oktober—di mana kedua negara berkomitmen pada gencatan senjata segera—menjadi titik balik. Namun, implementasi di lapangan tetap rapuh tanpa mekanisme pemantauan independen. Turki, dengan pengalaman mediasi serupa di Libya dan Nagorno-Karabakh, memposisikan diri sebagai pihak netral yang mampu menjembatani perbedaan ideologis dan strategis antara Islamabad dan Kabul.
Baca juga : Prabowo Pimpin Renungan Suci Hari Pahlawan: Tekad Melanjutkan Perjuangan Lewat Teladan
Dari perspektif hubungan internasional, inisiatif Turki mencerminkan doktrin “diplomasi proaktif” Erdogan yang menggabungkan soft power budaya (melalui ikatan historis dengan Asia Tengah) dan hard power militer (melalui industri pertahanan nasional). Kunjungan delegasi tingkat menteri ini berpotensi menghasilkan tiga output utama:
- Mekanisme Verifikasi Bersama: Pembentukan pos pengamatan bersama atau satuan pemantau lintas batas, mirip dengan model UN di Cyprus.
- Kerjasama Intelijen: Pertukaran data real-time mengenai pergerakan TTP dan ISIS-K, yang mengancam kedua negara.
- Koridor Ekonomi: Integrasi Garis Durand ke dalam inisiatif konektivitas regional, seperti perluasan Corridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC) ke Afghanistan.
Namun, tantangan struktural tetap ada. Ketidakpercayaan mendalam—diperparah oleh tuduhan Afghanistan bahwa Pakistan menyediakan safe haven bagi militan—memerlukan jaminan pihak ketiga yang kredibel. Turki, sebagai anggota NATO dengan hubungan erat dengan Qatar dan pengaruh di Organisasi Kerjasama Islam (OKI), memiliki posisi unik untuk mengatasi hal ini.

Jika kunjungan delegasi berhasil, gencatan senjata dapat berevolusi menjadi perjanjian perdamaian komprehensif pada 2026, dengan Turki sebagai penjamin utama. Sebaliknya, kegagalan akan memperburuk instabilitas regional, berpotensi memicu gelombang pengungsi baru ke Eropa via rute Balkan—sebuah isu yang sensitif bagi Ankara.
Untuk keberhasilan jangka panjang, diperlukan inklusi aktor non-pemerintah seperti elders suku Pashtun dan mekanisme resolusi sengketa berbasis adat. Turki dapat memanfaatkan pengalamannya dalam Conference on Interaction and Confidence-Building Measures in Asia (CICA) untuk membangun kerangka ini.
Kunjungan delegasi pekan depan bukan sekadar diplomasi rutin, melainkan ujian bagi visi Erdogan tentang “Poros Ankara” di Eurasia. Keberhasilannya akan menentukan apakah Turki dapat naik kelas dari mediator regional menjadi arsitek stabilitas Asia Selatan.
Pewarta : Setiawan Wibisono

