
RI News Portal. Padangsidimpuan 19 Oktober 2025 – Di tengah hiruk-pikuk persiapan akhir tahun, Kota Padangsidimpuan di Sumatera Utara berada di ujung tanduk. Kebijakan efisiensi anggaran nasional yang diterapkan sejak awal 2025, melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, kini berbalik menjadi mimpi buruk bagi daerah minim Pendapatan Asli Daerah (PAD) seperti kota ini. Total pemangkasan transfer ke daerah mencapai Rp50,6 triliun secara nasional, dan Padangsidimpuan menanggung beban berat: defisit APBD 2025 yang sudah mencapai Rp50 miliar kini bertambah Rp50 miliar lagi akibat efisiensi, menggerus lebih dari Rp100 miliar dari total APBD Rp860 miliar.
Situasi ini bukan sekadar angka di kertas. Tanpa efisiensi, kota yang bergantung pada sektor perdagangan kecil dan pertanian subsisten ini sudah merana. Belanja pegawai menyedot 63% APBD, meninggalkan ruang sempit untuk pembangunan infrastruktur dan program sosial. “Ini seperti memotong nadi ekonomi kota,” kata Dr. Siti Nurhaliza, ekonom dari Universitas Sumatera Utara yang meneliti dampak fiskal daerah. Menurutnya, pemangkasan ini memperburuk ketergantungan pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang turut terdampak, sehingga arah pembangunan tersendat dan daya beli masyarakat merosot tajam.
Bayangkan pasar tradisional di pusat kota, di mana pedagang seperti Ibu Sari, penjual rempah-rempah berusia 52 tahun, sudah kesulitan bertahan. “Dulu, pegawai kota belanja rutin di sini. Sekarang, gaji telat dan proyek mangkrak, pembeli sepi. Anak saya sampai harus bantu jualan sambil kuliah,” ceritanya saat ditemui di Pasar Raya Padangsidimpuan. Data internal Pemko menunjukkan inflasi lokal naik 4,2% sejak Juni, didorong penurunan konsumsi rumah tangga sebesar 15% di kalangan kelas menengah bawah. Kelompok ini, yang paling rentan, kini menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor jasa dan bangkrutnya usaha kecil.

Dampak Berantai: UMKM Terpukul, Lapangan Kerja Menguap
Efisiensi anggaran pusat tak hanya memotong transfer, tapi juga memicu efek domino di tingkat lokal. Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang menyumbang 70% lapangan kerja di Padangsidimpuan, menjadi korban utama. Riset terbaru dari Pusat Studi Ekonomi Regional (PSER) Universitas Negeri Padang mengungkap bahwa 40% UMKM di Sumatera Utara mengalami penurunan omzet hingga 30% akibat berkurangnya proyek infrastruktur pemerintah. Di Padangsidimpuan, ini berarti ribuan pedagang kaki lima dan bengkel kecil kehilangan kontrak rutin dari Pemko, seperti pemeliharaan jalan atau pengadaan seremonial.
“Lebih parah lagi, belanja pegawai yang mendominasi APBD membuat anggaran untuk stimulus UMKM nyaris nol,” tambah Nurhaliza. Prediksi PSER untuk 2026 lebih suram: jika efisiensi berlanjut dengan pemangkasan ratusan miliar nasional, roda perekonomian kota ini bisa mandek total. Pembangunan jalan penghubung ke perkebunan kelapa sawit terhenti, infrastruktur air bersih mangkrak, dan lapangan pekerjaan baru hampir nihil. Ekonomi melemah, berujung pada peningkatan utang rumah tangga dan risiko sosial seperti kemiskinan struktural.
Fenomena ini bukan istimewa Padangsidimpuan. Di daerah serupa seperti Asahan atau Pontianak, defisit APBD 2025 mencapai Rp141 miliar dan Rp24 miliar, dengan pola serupa: PAD minim di bawah Rp100 miliar, sementara belanja pegawai melebihi 50%. Namun, di kota kecil ini, minimnya diversifikasi ekonomi—bergantung pada remitansi pekerja migran dan perdagangan lintas batas—membuat guncangan terasa lebih dalam. “Ini bukan efisiensi, tapi pemangkasan yang buta terhadap realitas lokal,” tegas Ahmad Rivai, aktivis ekonomi masyarakat yang memimpin forum dialog warga akhir pekan lalu.
Baca juga : Sengketa Lahan di Silaut: Antara Hak Adat dan Sertifikat Kontroversial, Warga Siap Gugat Hukum
Grand Design Mitigasi: Rencana Pemko Belum Jelas, Harapan di R-APBD 2026
Di tengah kekhawatiran ini, pertanyaan mendasar bergaung: Apa grand design dan mitigasi yang dirancang Pemko Padangsidimpuan untuk melindungi sosial dan menjaga daya beli? Saat ini, belum ada dokumen resmi yang dirilis. Namun, sumber dekat Wali Kota mengindikasikan rencana awal: alokasi 20% dari sisa APBD 2025 untuk subsidi langsung UMKM via voucher belanja lokal, dan kolaborasi dengan koperasi desa untuk pinjaman lunak bagi pekerja informal. “Kami prioritaskan program padat karya seperti rehabilitasi drainase, yang bisa serap 500 tenaga kerja sementara,” kata seorang pejabat Dinas Ekonomi Kreatif, yang meminta anonim.
Tak berapa lama lagi, Pemko dan DPRD akan membahas Rancangan APBD (R-APBD) 2026, yang menjadi ujian sesungguhnya. Di sinilah perhitungan pendapatan—DAU, DAK, PAD, dan transfer lain—serta belanja harus antisipatif. Harapannya, Wali Kota dan Wakil Wali Kota tunjukkan tanggung jawab bersama: hitung ulang dengan skenario ekonomi melemah dan inflasi yang diprediksi naik 3,5% nasional. “Fokuskan pada diversifikasi PAD melalui wisata halal dan agroindustri, bukan hanya bergantung transfer pusat,” saran Nurhaliza.

Untuk Ketua DPRD dan anggota, pesan tegas: Singkirkan ego politik anggaran yang tak berujung pada kesejahteraan. “Ini saatnya melepas kepentingan pribadi. Badai ekonomi sudah di depan mata, dengan PAD kita yang minim,” tulis Rivai dalam petisi warga yang dikumpulkan pekan ini, ditandatangani 2.000 orang.
Padangsidimpuan tak boleh lumpuh. Dengan sinergi Pemko, DPRD, dan masyarakat, kota ini bisa bangkit dari guncangan efisiensi. Bukan dengan pemangkasan semata, tapi strategi cerdas yang lindungi yang lemah: kelas menengah bawah dan UMKM. Jika tidak, 2026 bukan hanya tahun defisit, tapi tahun kelaparan harapan.
Artikel Ini Ditulis Oleh: Amir Hamzah Harahap, S.Sos, Pendiri Padangsidimpuan Institute (PIN).
Pewarta : Indra Saputra
