
RI News Portal. Jakarta, 27 Agustus 2025 – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berhasil menindak sarana peredaran produk sekretom atau turunan sel punca (stem cell) ilegal yang dikamuflase sebagai klinik dokter hewan di Kecamatan Magelang Utara, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Operasi ini mengungkap praktik pengobatan tidak sah yang menargetkan pasien manusia, dengan nilai ekonomi mencapai Rp230 miliar, menyoroti celah pengawasan dalam industri terapi regeneratif yang sedang berkembang pesat di Indonesia.
Kepala BPOM, Taruna Ikrar, dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu kemarin, menyatakan bahwa temuan ini berawal dari laporan masyarakat tentang dugaan pengobatan ilegal oleh seorang dokter hewan. “Temuan ini merupakan hasil pengawasan BPOM yang ditindaklanjuti dengan penindakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPOM bersama dengan Koordinator Pengawas (Korwas) PPNS Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri),” ujar Taruna. Penindakan dilakukan pada 25 Juli 2025, di lokasi yang berada di tengah pemukiman padat penduduk, di mana sarana tersebut melayani terapi kepada pasien manusia dari berbagai daerah di Indonesia.

Praktik ilegal ini melibatkan penyuntikan produk sekretom secara intramuskular, seperti pada lengan pasien, dengan klaim manfaat seperti pencegahan kanker, peningkatan stamina, awet muda, dan pengobatan penyakit kronis. Namun, sarana tersebut disamarkan dengan papan nama “Praktik Dokter Hewan”, yang menimbulkan risiko kontaminasi dan penyalahgunaan lebih lanjut. Dari olah tempat kejadian perkara (TKP), tim PPNS BPOM menyita barang bukti signifikan, termasuk produk sekretom siap suntik dalam tabung eppendorf 1,5 ml, 23 botol sekretom dalam kemasan 5 liter yang disimpan di kulkas, krim pengobatan luka berbasis sekretom, peralatan suntik, serta termos pendingin berlabel identitas pasien.
Pemilik sarana, berinisial YHF, telah ditetapkan sebagai tersangka, dengan 12 saksi memberikan keterangan untuk penyidikan lanjutan. Seluruh barang bukti kini disimpan di gudang Balai Besar POM di Yogyakarta. Operasi ini tidak hanya menekankan kerjasama antarlembaga, tetapi juga menggarisbawahi pentingnya pengawasan ketat terhadap produk biologi yang rentan disalahgunakan.
Baca juga : Ambon Bangkit: Pemkot Mulai Rekonstruksi Rumah Warga Hunuth Pasca Kebakaran
Dalam konteks ilmiah, sekretom merujuk pada kumpulan zat bioaktif—seperti protein, faktor pertumbuhan, dan molekul lain—yang disekresikan oleh sel punca (stem cell). Berbeda dari transplantasi stem cell langsung, terapi sekretom memanfaatkan efek parakrin ini untuk regenerasi jaringan, tanpa memerlukan implantasi sel hidup. Menurut penjelasan medis, sekretom berfungsi sebagai “hasil produksi” dari stem cell, yang dapat mendukung penyembuhan luka, perbaikan organ, dan modulasi sistem imun.
Namun, penggunaan sekretom ilegal tanpa izin edar dari BPOM berpotensi mengabaikan standar keamanan, termasuk pengujian kontaminasi bakteri atau virus. Di Indonesia, terapi ini sedang populer sebagai alternatif pengobatan regeneratif, tetapi regulasi ketat diperlukan untuk mencegah eksploitasi komersial yang tidak etis.
Taruna Ikrar menekankan bahaya nyata dari produk sekretom ilegal: “Penggunaan produk sekretom ilegal dapat memicu timbulnya sejumlah efek fatal, seperti gagal ginjal, gagal jantung, bahkan kematian.” Klaim manfaat yang berlebihan sering kali tidak didukung bukti klinis kuat, sementara risiko infeksi atau reaksi imunologi meningkat karena produksi tidak steril. Kasus ini mencerminkan tren global di mana terapi stem cell abal-abal mengeksploitasi harapan pasien dengan penyakit kronis, sering kali di lokasi tersembunyi seperti klinik hewan untuk menghindari pengawasan.
Studi akademis menunjukkan bahwa sekretom dari stem cell dapat memang mendukung regenerasi, seperti pada cedera tulang belakang, tetapi hanya jika diproduksi di fasilitas berstandar GMP (Good Manufacturing Practice). Tanpa itu, pasien berisiko menghadapi komplikasi jangka panjang, termasuk kegagalan organ yang ireversibel.
Tindakan ini diduga melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 435 jo. Pasal 138 ayat (2) serta Pasal 436 ayat (1) jo. Pasal 145 ayat (1). Pelaku yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi tidak memenuhi standar keamanan, khasiat, dan mutu dapat dihukum penjara hingga 12 tahun atau denda hingga Rp5 miliar. Selain itu, praktik kefarmasian tanpa keahlian resmi dapat dikenai pidana hingga 5 tahun penjara atau denda Rp200 juta.
Kasus ini menjadi preseden penting dalam penegakan hukum kesehatan di Indonesia, di mana BPOM semakin gencar membongkar jaringan ilegal di Jawa Tengah. Implikasinya tidak hanya pada perlindungan konsumen, tetapi juga pada penguatan regulasi terapi inovatif agar tetap berbasis bukti ilmiah.
Dengan nilai ekonomi Rp230 miliar, operasi ini menegaskan urgensi edukasi masyarakat tentang risiko terapi ilegal. BPOM mendorong pelaporan dugaan pelanggaran melalui saluran resmi, sambil terus berkolaborasi dengan aparat penegak hukum untuk menjaga integritas sistem kesehatan nasional.
Pewarta : Albertus Parikesit
