
RI News Portal. Padangsidimpuan, 22 Agustus 2025 – Di tengah dinamika politik nasional yang semakin kompleks, kasus dugaan penyalahgunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menjadi sorotan utama. Kasus ini tidak hanya menyingkap potensi korupsi sistemik di level legislatif pusat, tetapi juga memiliki implikasi mendalam terhadap tata kelola politik lokal, khususnya di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Sebagai daerah asal seorang politisi senior, Gus Irawan Pasaribu, yang namanya disebut-sebut dalam penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus ini menimbulkan pertanyaan etis tentang bagaimana praktik korupsi berjamaah dapat merembet ke level daerah, memengaruhi kepercayaan publik dan pembangunan sosial-ekonomi.
Dari perspektif akademis, kasus ini dapat dianalisis melalui lensa teori korupsi institusional, seperti yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard dalam formula “Korupsi = Monopoli + Diskresi – Akuntabilitas”. Di sini, monopoli anggota Komisi XI DPR RI atas persetujuan anggaran BI dan OJK, dikombinasikan dengan diskresi tinggi dalam alokasi dana CSR melalui panitia kerja (Panja) dan rapat tertutup, menciptakan celah akuntabilitas yang lemah. Temuan KPK mengindikasikan aliran dana hingga Rp25 miliar per anggota dalam satu periode, yang disalurkan melalui yayasan-yayasan terkait, bukan langsung ke program sosial masyarakat. Pola ini tidak hanya menyimpang dari prinsip transparansi, tetapi juga berpotensi mengubah dana CSR—yang seharusnya bersifat filantropis—menjadi instrumen politik pribadi.

Fokus pada Padangsidimpuan, kota yang menjadi basis politik Gus Irawan Pasaribu, mengungkap dimensi lokal yang sering terabaikan dalam liputan media mainstream. Gus Irawan, mantan anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra periode 2019-2024 dan saat ini menjabat sebagai Bupati Tapanuli Selatan, memiliki akar kuat di wilayah ini. Lahir dan besar di Sumatera Utara, ia dikenal sebagai figur berpengaruh yang pernah menjabat di Komisi XI DPR RI, yang membidangi sektor keuangan. Namun, sorotan KPK terhadapnya berasal dari dugaan keterlibatan dalam aliran dana CSR melalui yayasan yang ia kelola atau terkait dengannya. Salah satu yayasan yang disebut adalah Yayasan H. Hasan Pinayungan Pasaribu (YHHPP), berlokasi di Kelurahan Bincar, Kecamatan Padangsidimpuan Utara. Yayasan ini, yang didirikan oleh keluarga Pasaribu, secara historis terlibat dalam kegiatan sosial seperti halal bihalal dan dukungan masyarakat, tetapi kini menjadi objek penelusuran atas potensi penyalahgunaan dana untuk kepentingan non-sosial.
Dari hasil observasi lapangan dan wawancara dengan warga setempat, seperti yang dilakukan oleh tim riset ini di Kampung Marancar, terungkap bahwa yayasan tersebut memang dikenal sebagai entitas yang dekat dengan Gus Irawan. Seorang warga anonim di Kelurahan Bincar menyatakan, “Yayasan ini sering membantu kegiatan sosial, tapi kalau dana dari pusat disalahgunakan, itu merugikan kami yang butuh bantuan nyata.” Pernyataan ini mencerminkan paradoks: di satu sisi, yayasan berperan sebagai jembatan antara elite politik dan masyarakat; di sisi lain, ia berpotensi menjadi saluran dana gelap yang mengikis kepercayaan publik terhadap institusi lokal.
Lebih lanjut menunjukkan implikasi ekonomi-politik di Padangsidimpuan. Kota ini, dengan populasi sekitar 200.000 jiwa dan bergantung pada sektor pertanian serta perdagangan, rentan terhadap praktik politik uang. Dugaan penyelewengan dana CSR—yang seharusnya mendukung penyuluhan keuangan dan program sosial—dapat memperburuk ketimpangan sosial. Menurut data LHKPN KPK, kekayaan Gus Irawan mencapai hampir Rp50 miliar, termasuk aset tanah, kendaraan mewah, dan bisnis seperti stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Pertanyaan akademis muncul: apakah aset-aset ini terkait dengan aliran dana dari Komisi VII (sektor energi) atau Komisi XI? Ini menggarisbawahi risiko konflik kepentingan, di mana politisi lokal menggunakan posisi nasional untuk memperkaya diri, sementara daerah asal tetap tertinggal dalam indeks pembangunan manusia (IPM) Sumatera Utara yang berada di bawah rata-rata nasional.
Dalam konteks teori governance, kasus ini mengilustrasikan “korupsi berjamaah” seperti yang diungkapkan oleh Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, di mana hampir semua anggota Komisi XI diduga menerima dana serupa. Pengakuan tersangka Satori (Nasdem) dan Heri Gunawan (Gerindra) memperkuat dugaan ini, dengan BI memberikan kuota 10 kegiatan sosial per tahun dan OJK hingga 24. Bagi Padangsidimpuan, hal ini berimplikasi pada integritas pemimpin lokal. Sebagai daerah yang sering disebut rawan politik uang, kasus ini dapat memicu erosi kepercayaan terhadap elite seperti Gus Irawan, yang baru-baru ini menyatakan siap maju di Pilkada Tapanuli Selatan.

Pemerhati kebijakan publik lokal, seperti Bang Regar dari Tabagsel, menekankan perlunya KPK bertindak tanpa pandang bulu: “Ini bukan hanya soal dana sosial, tapi integritas legislatif yang memengaruhi daerah seperti Padangsidimpuan. Praktik ini bisa menghambat alokasi anggaran daerah yang akuntabel.” Dari sudut akademis, rekomendasi mencakup reformasi pengawasan CSR melalui audit independen dan penguatan peran masyarakat sipil dalam monitoring yayasan politik.
Kasus ini menjadi ujian bagi KPK untuk menuntaskan penyelidikan secara holistik, termasuk potensi keterlibatan lebih luas. Bagi Padangsidimpuan, jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan tata kelola yang lebih bersih, di mana dana sosial benar-benar menyentuh akar rumput, bukan elite politik. Publik lokal menunggu langkah tegas yang tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga memulihkan keadilan sosial-ekonomi di tengah tantangan korupsi endemik.
Pewarta : Indra Saputra
