
RI News Portal. Padang Lawas, 22 Agustus 2025 – Dalam dinamika tata kelola pemerintahan desa di Indonesia, kasus dugaan pelanggaran etika oleh pejabat publik sering kali menjadi katalisator perubahan sosial dan administratif. Baru-baru ini, masyarakat Desa Ujung Batu IV, Kecamatan Hutaraja Tinggi, Kabupaten Padang Lawas (Palas), Sumatera Utara, menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap oknum Kepala Desa (Kades) berinisial ES, yang diduga terlibat dalam video asusila yang beredar luas di media sosial. Tuntutan pengunduran diri yang disampaikan melalui surat resmi kepada Bupati Palas mencerminkan konflik antara nilai adat, agama, dan prinsip akuntabilitas publik di wilayah yang dikenal dengan julukan “Tano Adat di Gom-gom Ibadat” (Tanah Adat yang Dijaga Erat oleh Agama).
Latar belakang insiden ini bermula dari viralnya sebuah video berdurasi sekitar 2 menit 58 detik, yang menampilkan sosok mirip ES dalam percakapan intim dengan seorang pria yang diduga pasangan selingkuhannya. Video tersebut pertama kali beredar sekitar awal Agustus 2025, memicu reaksi keras dari masyarakat setempat. Menurut analisis awal dari sumber-sumber berita lokal, konten tersebut tidak hanya melanggar norma kesusilaan tetapi juga merusak citra kepemimpinan desa sebagai teladan moral, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menekankan integritas pejabat desa. Kejadian ini menambah daftar panjang kasus serupa di tingkat desa di Indonesia, di mana teknologi digital mempercepat penyebaran informasi sensitif dan memperbesar dampak sosialnya.

Puncak dari ketegangan masyarakat terjadi pada Rabu, 20 Agustus 2025, ketika Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tokoh agama, tokoh pemuda, dan perwakilan masyarakat menggelar rapat di balai desa. Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan untuk menyusun surat tuntutan yang ditandatangani oleh Ketua BPD Jamrun, serta distempel resmi. Surat tersebut memuat tiga poin utama: (1) pengunduran diri atau pemecatan ES dari jabatan Kades; (2) pertanggungjawaban atas penggunaan dana desa dan dana Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) selama masa jabatannya; serta (3) ancaman aksi demonstrasi massal di kantor Bupati Palas jika tidak ada respons dalam tiga hari ke depan. Pendekatan ini menunjukkan pemanfaatan mekanisme partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemerintahan desa, sebagaimana didorong oleh prinsip good governance di tingkat lokal.
Seorang warga yang tidak bersedia disebut namanya mengungkapkan bahwa tuntutan ini lahir dari kekhawatiran kolektif atas reputasi desa. “Kami tidak ingin dicap buruk oleh desa-desa lain. Kami menginginkan kampung yang diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Jika pemimpinnya seperti itu, bagaimana dengan kami? Karena dialah cerminan kampung ini,” ujarnya. Pernyataan ini mencerminkan nilai-nilai adat dan religius yang kuat di Palas, di mana kepemimpinan desa bukan hanya administratif tetapi juga simbolis, mengintegrasikan elemen agama dan budaya lokal. Tokoh masyarakat menambahkan bahwa kesepakatan ini didukung oleh BPD, tokoh agama, dan pemuda yang menolak perbuatan asusila, dengan surat yang telah dikirimkan ke kantor bupati.
Baca juga : Kasus Hilangnya Lansia di Padangsidimpuan: Pencarian dan Dampak Sosial terhadap Keluarga Pedesaan
Hingga saat ini, ES belum memberikan respons resmi terhadap konfirmasi media. Upaya konfirmasi ulang oleh berbagai pihak, termasuk jurnalis lokal, belum membuahkan hasil, yang semakin memperburuk persepsi publik terhadap transparansi. Di sisi lain, Bupati Palas belum merilis pernyataan resmi, meskipun surat tuntutan telah diterima. Dalam konteks hukum, kasus ini berpotensi melibatkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengatur sanksi atas pelanggaran etika oleh Kades, termasuk pemberhentian sementara atau permanen oleh bupati.
Secara akademis, insiden ini mengilustrasikan tantangan dalam menjaga integritas kepemimpinan desa di era digital. Studi kasus serupa, seperti yang dibahas dalam jurnal “Jurnal Ilmu Pemerintahan” (edisi 2023), menunjukkan bahwa pelanggaran etika sering kali memicu krisis kepercayaan masyarakat, yang pada akhirnya memengaruhi efektivitas program desa seperti pengelolaan dana desa. Di Palas, yang bergantung pada nilai adat dan agama sebagai pondasi sosial, kasus ini bisa menjadi momentum untuk reformasi pengawasan internal desa, termasuk penguatan peran BPD dan integrasi edukasi etika bagi pejabat desa.
Prospek ke depan bergantung pada respons bupati. Jika tuntutan tidak ditanggapi, potensi eskalasi melalui demonstrasi bisa mengganggu stabilitas lokal. Namun, jika ditangani dengan bijak, kasus ini dapat menjadi contoh positif akuntabilitas pemerintahan desa, memperkuat prinsip “bercahaya” (beriman, cerdas, sehat, sejahtera, dan berbudaya) yang menjadi visi Kabupaten Palas. Pengamat pemerintahan desa menyarankan investigasi independen untuk memastikan keadilan bagi semua pihak, sambil menjaga harmoni sosial di wilayah yang kaya akan nilai adat tersebut.
Pewarta : Indra Saputra
