
RI News Portal. Tangerang Selatan, 14 September 2025 – Dalam lanskap tata kelola pemerintahan daerah Indonesia, laporan hasil pemeriksaan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sering menjadi cermin bagi kualitas pengelolaan anggaran publik. Untuk tahun anggaran 2024, Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang Selatan menerima opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk ke-13 kalinya secara berturut-turut, sebuah pencapaian yang menandakan kepatuhan secara umum terhadap standar akuntansi pemerintahan. Namun, di balik penghargaan ini, laporan BPK mengungkap serangkaian temuan yang menyoroti kelemahan struktural dalam pengawasan dan eksekusi anggaran, berpotensi menimbulkan kerugian negara dan memicu dugaan penyalahgunaan wewenang.
Temuan-temuan ini bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan indikasi dari masalah sistemik yang dapat menggerus kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan. Dari perspektif akademis, kelemahan seperti ini sering dikaitkan dengan teori principal-agent dalam governance, di mana agen (pejabat publik) cenderung memaksimalkan kepentingan pribadi jika pengawasan dari principal (masyarakat dan lembaga negara) lemah. Analisis ini akan mengeksplorasi detail temuan, implikasi jangka panjang, serta konteks respons dari pejabat terkait, dengan tujuan memberikan wawasan yang lebih nuansa dibandingkan liputan media konvensional.
Salah satu temuan utama BPK adalah kelebihan pembayaran sewa kendaraan untuk perjalanan dinas sebesar Rp44,8 juta. Kasus ini mencerminkan kurangnya mekanisme verifikasi yang ketat, di mana anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk efisiensi operasional justru terbuang sia-sia. Dalam konteks akademis, fenomena ini mirip dengan “moral hazard” dalam ekonomi publik, di mana kurangnya insentif untuk efisiensi menyebabkan pemborosan. Jika tidak diatasi, pola ini bisa menjadi preseden bagi pembengkakan anggaran di sektor lain, mengurangi dana yang tersedia untuk layanan esensial seperti kesehatan atau infrastruktur.

Lebih lanjut, BPK menemukan kekurangan volume pekerjaan pada proyek pengecatan senilai Rp142,3 juta, yang mengindikasikan ketidaksesuaian antara spesifikasi kontrak dan pelaksanaan di lapangan. Temuan ini tidak hanya menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga menimbulkan dugaan bahwa ada elemen kolusi atau kelalaian yang sengaja, sebagaimana sering dibahas dalam studi korupsi oleh Transparency International. Dari sudut pandang analitis, hal ini menunjukkan kegagalan dalam sistem monitoring and evaluation (M&E), di mana audit internal seharusnya mendeteksi penyimpangan sebelum mencapai tahap eksternal.
Di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), pengelolaan Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) di 12 sekolah ditemukan tidak sesuai dengan ketentuan regulasi. Dana yang dimaksudkan untuk mendukung operasional pendidikan ini seharusnya menjadi instrumen pemerataan akses belajar, namun ketidaksesuaian ini memunculkan pertanyaan tentang akuntabilitas. Secara akademis, ini berkaitan dengan konsep “fiscal decentralization” di Indonesia, di mana desentralisasi anggaran ke daerah sering disertai risiko penyalahgunaan jika tidak didukung oleh kapasitas institusional yang memadai. Potensi dampaknya adalah penurunan kualitas pendidikan, yang pada akhirnya memengaruhi indeks pembangunan manusia (IPM) daerah.
Sementara itu, di Dinas Lingkungan Hidup (DLH), pengadaan kendaraan angkutan sampah dinilai tidak kompetitif, berpotensi menyebabkan harga yang melampaui nilai pasar dan merugikan keuangan daerah. Temuan ini menyoroti masalah dalam proses procurement publik, yang sesuai dengan kerangka Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, seharusnya menjamin prinsip efisiensi dan persaingan sehat. Analisis mendalam menunjukkan bahwa ketidakkompetitifan seperti ini bisa menjadi pintu masuk bagi praktik rent-seeking, di mana pejabat memanfaatkan posisi untuk keuntungan pribadi.
Baca juga : Mahfud MD Puji Kinerja Polri: Masyarakat Aman dan Nyaman, Tapi Kepercayaan Publik Perlu Ditingkatkan
Tidak kalah krusial, proyek penanganan banjir di Dinas Sumber Daya Air Bina Marga dan Bina Konstruksi (DSDABMBK) ditemukan tidak sesuai kontrak, dengan selisih nilai Rp42 juta. Kerugian ini bukan hanya finansial, melainkan juga ekologis dan sosial, mengingat Tangerang Selatan rentan terhadap banjir musiman. Dari perspektif studi kebijakan publik, kegagalan ini mencerminkan mismatch antara perencanaan dan eksekusi, yang bisa diperburuk oleh perubahan iklim—sebuah isu yang semakin relevan dalam diskusi akademis tentang resilient cities.
Hingga awal September 2025, sejumlah pejabat terkait menunjukkan sikap bungkam terhadap temuan BPK. Kepala Disdikbud, Deden Deni, belum memberikan tanggapan sejak 28 Agustus 2025, sementara Sekretaris DLH, Indri Sari Yuniandri, juga tidak berkomentar hingga 2 September 2025. Sikap ini, dari lensa akademis, bisa diinterpretasikan sebagai bentuk avoidance behavior dalam teori komunikasi organisasi, yang justru memperkuat kecurigaan publik tentang adanya upaya penyembunyian informasi.
Padahal, transparansi adalah pilar utama good governance menurut United Nations Development Programme (UNDP). Sikap diam ini tidak hanya mempertanyakan akuntabilitas, tetapi juga mengundang spekulasi tentang motif di baliknya—apakah ada tekanan internal, atau memang ada elemen yang lebih dalam yang belum terungkap? Dalam konteks Indonesia pasca-reformasi, kasus seperti ini mengingatkan pada pentingnya penguatan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menindaklanjuti temuan BPK.

Untuk membedakan pendekatan ini dari liputan media arus utama yang sering berfokus pada sensasi, kami menekankan rekomendasi berbasis bukti. Pertama, Pemkot Tangsel perlu memperkuat sistem digitalisasi pengawasan anggaran, seperti implementasi e-audit yang terintegrasi, untuk meminimalkan kesalahan manusiawi. Kedua, pelatihan kapasitas bagi pejabat di level operasional harus ditingkatkan, dengan mengadopsi model dari negara-negara seperti Singapura yang sukses dalam anti-korupsi. Ketiga, masyarakat sipil dan akademisi diundang untuk terlibat dalam monitoring, melalui forum publik atau citizen audit, guna memastikan dana rakyat benar-benar digunakan untuk kesejahteraan.
Pada akhirnya, temuan BPK ini adalah panggilan untuk introspeksi bagi Pemkot Tangerang Selatan. Meski opini WTP memberikan legitimasi, kelemahan sistemik yang terungkap menuntut aksi konkret agar governance daerah tidak hanya wajar di atas kertas, melainkan juga efektif dalam praktik. Publik berhak tahu, dan pejabat bertanggung jawab untuk menjawab—bukan diam.
Pewarta : Syahrudin Bhalak
