Deforestasi Hulu sebagai Pemicu Utama, Bukan Sekadar Cuaca Ekstrem
RI News Portal. Jakarta, 3 Desember 2025 – Dalam langkah tegas yang menandai pergeseran paradigma penanganan bencana, Presiden Prabowo Subianto secara langsung menginstruksikan agar dampak banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat diperlakukan sebagai prioritas nasional. Instruksi ini, yang disampaikan melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Pratikno, menekankan mobilisasi total sumber daya pemerintah pusat, termasuk dana siap pakai untuk masa tanggap darurat, guna mempercepat penyelamatan korban dan pemulihan infrastruktur vital.
Bencana hidrometeorologi parah ini, yang meletus pada 25 November 2025 akibat hujan ekstrem dipicu oleh siklon tropis senyar di perairan Aceh hingga Sumatera Barat, telah menelan 804 jiwa dan menyisakan 634 orang dinyatakan hilang, menurut data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 3 Desember 2025. Lebih dari 1,4 juta penduduk terdampak, dengan ribuan keluarga mengungsi di 53 wilayah tersebar di ketiga provinsi tersebut. Kerusakan lingkungan yang masif—termasuk putusnya jalur lintas Sumatra seperti Sibolga–Padang Sidempuan dan isolasi daerah seperti Mandailing Natal serta Gayo Lues—memperburuk krisis, memaksa distribusi bantuan bergantung pada evakuasi udara dan darat darurat.

Pada jumpa pers di Posko Bantuan Bencana Sumatera, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (3/12), Pratikno menjelaskan bahwa perintah presiden ini bukan sekadar deklarasi administratif, melainkan mandat untuk “ekstra responsif” dari seluruh kementerian, lembaga, TNI, dan Polri. “Presiden menekankan agar setiap jam, setiap menit, ada perbaikan nyata terhadap kebutuhan masyarakat terdampak. Ini berarti pengalihan sumber daya maksimal dari pusat, mulai dari BNPB hingga dukungan logistik Kemensos senilai Rp21,48 miliar untuk 28 dapur umum yang memproduksi hingga 100 ribu bungkus nasi per hari,” ujar Pratikno, yang didampingi pejabat senior seperti Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Instruksi ini secara implisit mengonversi status bencana dari tingkat provinsi menjadi penanganan nasional penuh, meski belum secara formal ditingkatkan ke bencana nasional. Fokus utama mencakup penyelamatan korban, distribusi bantuan cepat, dan restorasi layanan esensial seperti akses transportasi yang terputus di Tapanuli Tengah dan Pidie Jaya. Pratikno menambahkan bahwa jaminan dana dan logistik nasional “secara total” akan memastikan tidak ada kekurangan selama fase darurat, dengan penekanan pada peningkatan respons terhadap kelompok rentan seperti penyandang disabilitas dan perempuan hamil di pengungsian.
Baca juga : Komnas HAM: UU PDP dan UU TPKS Menandai Langkah Maju Penegakan HAM
Di balik respons darurat yang mendesak, bencana Sumatra 2025—yang oleh para ahli disebut sebagai “bencana ekologis”—mengungkap kerentanan struktural wilayah yang telah lama terabaikan. Analisis dari pakar Universitas Gadjah Mada (UGM) menyoroti degradasi hutan hulu daerah aliran sungai (DAS) sebagai faktor dominan, di mana deforestasi masif akibat konversi lahan untuk perkebunan dan pertambangan telah mengurangi kapasitas penyerapan air tanah hingga 40 persen dalam dekade terakhir. “Curah hujan bulanan yang tumpah dalam satu hari, seperti yang terjadi 25–27 November, seharusnya bisa diredam oleh ekosistem hutan utuh. Namun, hilangnya vegetasi akar membuat longsor dan banjir bandang menjadi tak terelakkan,” kata Dr. Rina Hernawati, pakar hidrologi UGM, dalam wawancara eksklusif.
Data Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) memperkuat temuan ini: Lebih dari 30 persen tutupan hutan di DAS Batang Toru (Sumatera Utara) dan Sungai Teungku (Aceh) telah hilang sejak 2015, akibat kebijakan yang memprioritaskan eksploitasi sumber daya atas pelestarian. Di Sumatera Barat, longsor di Agam dan Pesisir Selatan bukan hanya akibat siklon tropis Koto, tapi juga erosi tanah yang dipercepat oleh pembangunan tak terkendali di lereng bukit. “Ini adalah peringatan keras bagi komitmen iklim Indonesia pasca-COP30. Tanpa restorasi DAS berbasis masyarakat, bencana serupa akan berulang dengan intensitas lebih tinggi di tengah pemanasan global,” tambah Hernawati, merujuk pada peningkatan 2,7 ribu kejadian hidrometeorologi sepanjang 2025.

Pendekatan respons nasional di bawah Prabowo, meski efektif dalam jangka pendek, kini dihadapkan pada tuntutan integrasi mitigasi jangka panjang. Para gubernur ketiga provinsi telah menyatakan status darurat 14 hari sejak akhir November, tetapi para aktivis lingkungan menyerukan audit nasional atas perizinan hutan untuk mencegah “bencana buatan” di masa depan. Sementara itu, upaya rekonstruksi seperti pembangunan jembatan darurat di Nagari Koto Hilalang (Sumatera Barat) dan evakuasi via helikopter di Tapanuli Selatan menunjukkan komitmen pemerintah, meski tantangan akses tetap menjadi penghalang utama.
Dengan korban jiwa yang terus bertambah—terutama di Aceh Utara (218 jiwa), Sumatera Utara (301 jiwa), dan Sumatera Barat (221 jiwa)—instruksi presiden ini diharapkan menjadi katalisator bagi transformasi kebijakan bencana yang lebih holistik. Sebagai negara kepulauan rawan iklim, Indonesia tak lagi bisa mengandalkan reaksi pascabencana; saatnya beralih ke pencegahan ekologis yang berkelanjutan, di mana penanganan nasional tak hanya menyelamatkan nyawa, tapi juga menjaga warisan alam Sumatra untuk generasi mendatang.
Pewarta : Albertus Parikesit

