RI News Portal. Kyiv, 20 November 2025 – Di tengah eskalasi konflik yang telah memasuki tahun ketiga, pemerintahan Presiden Donald Trump dikabarkan menyusun kerangka perdamaian baru untuk Ukraina yang melibatkan pengakuan internasional atas status Krimea dan wilayah Donbas sebagai bagian sah Rusia. Namun, rancangan ini secara eksplisit tidak mewajibkan Ukraina sendiri untuk mengakui klaim tersebut, sebuah pendekatan yang diharapkan dapat membuka ruang negosiasi tanpa merendahkan posisi Kiev secara formal.
Menurut sumber pejabat Amerika yang akrab dengan pembahasan, rencana ini mencakup 28 poin utama yang bertujuan mengakhiri perang dengan memberikan jaminan keamanan bagi Ukraina dan Eropa, termasuk pembatasan militer Rusia di zona-zona sensitif. Selain pengakuan atas Krimea—yang telah dikuasai Rusia sejak 2014—dan Donbas (meliputi Luhansk dan Donetsk), proposal ini juga mengusulkan pembentukan zona demiliterisasi di sebagian Donbas, di mana Rusia dilarang menempatkan pasukan. Di wilayah Kherson dan Zaporizhzhia yang rusak parah akibat perang, garis kontrol saat ini akan dibekukan, dengan kemungkinan Rusia mengembalikan sebagian lahan melalui dialog bilateral.
Pendekatan ini mencerminkan strategi pragmatis Trump, yang selama kampanye pemilu menjanjikan penyelesaian cepat atas konflik Ukraina dalam waktu 24 jam. “Ini bukan tentang kemenangan total bagi satu pihak, tapi tentang stabilitas yang berkelanjutan,” kata seorang analis hubungan internasional dari Universitas George Washington, yang meminta anonim karena sensitivitas topik. Ia menambahkan bahwa pengakuan internasional tanpa paksaan bagi Ukraina bisa menjadi “jembatan” bagi Moskow, sambil menjaga integritas teritorial Kiev di mata publik domestik.

Yang membuat rencana ini semakin menarik adalah keterlibatan aktif negara-negara Teluk dan kawasan Eurasia. Qatar dan Turki disebut-sebut sebagai mitra kunci dalam pengembangan proposal, dengan dukungan penuh terhadap upaya mediasi Amerika. Seorang pejabat senior Qatar bahkan turut serta dalam diskusi akhir pekan lalu antara utusan khusus Trump, Steve Witkoff, dan Rustem Umerov, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Ukraina. Pertemuan itu, yang berlangsung di lokasi netral di Eropa Timur, difokuskan pada aspek kemanusiaan dan rekonstruksi pasca-perdamaian.
Turki, yang telah memediasi pertukaran tawanan dan ekspor gandum Ukraina sebelumnya, juga menjanjikan dukungan logistik. Witkoff dijadwalkan mengunjungi Ankara hari ini untuk pertemuan trilateral dengan Presiden Volodymyr Zelenskyy dan Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan. “Keterlibatan aktor regional seperti ini menunjukkan bahwa perdamaian Ukraina tak lagi hanya urusan Barat-Timur, tapi melibatkan jaringan diplomatik global yang lebih luas,” ujar pakar diplomasi dari Council on Foreign Relations.
Meski detail rencana masih dirahasiakan, reaksi awal dari pihak terkait menunjukkan campuran optimisme dan skeptisisme. Dari Moskow, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menyatakan bahwa proposal ini “selaras dengan prinsip-prinsip dasar kami,” meski menekankan perlunya diskusi lebih lanjut soal jaminan keamanan bagi Rusia. Sementara itu, di Kiev, pejabat Ukraina menolak spekulasi bahwa Zelenskyy akan menerima “penyerahan wilayah” apa pun, dengan menegaskan bahwa integritas nasional tetap prioritas utama.
Baca juga : Aktivitas Vulkanik Gunung Semeru Meningkat Tajam: 32 Kali Guguran dan 25 Letusan Terekam dalam Enam Jam
Para pengamat memperingatkan bahwa rencana ini berisiko memicu ketegangan baru jika tidak disertai mekanisme verifikasi independen. “Pengakuan internasional atas Krimea dan Donbas bisa menjadi katalisator perdamaian, tapi tanpa komitmen kuat dari Rusia, ini hanya akan memperpanjang penderitaan warga sipil,” kata seorang peneliti dari Institut Studi Perang di Washington. Data terbaru menunjukkan bahwa Ukraina masih menguasai sekitar 14,5% wilayah Donbas, membuat penarikan pasukan menjadi isu krusial yang memerlukan negosiasi intensif.
Sementara itu, di lapangan, pertempuran sporadis terus berlanjut, dengan laporan korban jiwa harian yang melebihi 100 orang di garis depan timur. Komunitas internasional, termasuk PBB, mendesak percepatan dialog, dengan Sekjen Antonio Guterres menyatakan bahwa “setiap langkah menuju meja perundingan adalah kemenangan bagi kemanusiaan.”
Rencana Trump ini, jika terealisasi, bisa menjadi titik balik dalam dinamika geopolitik pasca-Perang Dingin. Namun, dengan pemilu AS yang baru saja usai dan tekanan ekonomi global yang membayangi, pertanyaannya tetap: apakah proposal ini cukup inovatif untuk menyatukan pihak-pihak yang saling bertentangan, atau justru akan menambah lapisan kompleksitas dalam konflik yang telah menewaskan ratusan ribu nyawa?
Pewarta : Anjar Bramantyo

