
RI News portal. Padangsidimpuan, 15 Agustus 2025 — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Rektor sekaligus Guru Besar Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Muryanto Amin (MA), sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi pembangunan jalan di Provinsi Sumatera Utara. Pemeriksaan berlangsung di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Padangsidimpuan, Jumat (15/8/2025).
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa pemeriksaan ini merupakan bagian dari rangkaian pemanggilan saksi untuk mengungkap konstruksi perkara yang melibatkan jaringan pejabat daerah, aparatur sipil negara, hingga pihak swasta. Selain Prof. Muryanto Amin, KPK memanggil 12 saksi lain, di antaranya Edison (EDS), Asnawi Harahap (AH), Ahmad Juni (AJ), Said Safrizal (SS), Manaek Manalu (MM), Ratno Adi Setiawan (RAS), Rahmat Parinduri (RP), Afrizal Nasution (AFR), dan Randuk Efendi Siregar (RES).
Daftar saksi yang diperiksa KPK pada pekan ini cukup panjang. Pada Rabu (13/8), tercatat 18 orang saksi hadir, termasuk Komisaris PT DNG Taufik Hidayat Lubis, mantan Wali Kota Padangsidimpuan Irsan Efendi Nasution, serta Wali Kota Padangsidimpuan Letnan Dalimunthe. Keesokan harinya, Kamis (14/8), KPK memanggil 29 saksi tambahan, di antaranya mantan Bupati Mandailing Natal Muhammad Jafar Sukhairi Nasution dan sejumlah pejabat Dinas PUPR di kabupaten/kota.

Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) pada 26 Juni 2025, yang menjerat pejabat di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumut serta Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah I Sumut. Dua hari kemudian, pada 28 Juni 2025, KPK menetapkan lima tersangka, yaitu Topan Obaja Putra Ginting (TOP), Rasuli Efendi Siregar (RES), Heliyanto (HEL), M. Akhirun Efendi (KIR), dan M. Rayhan Dulasmi Piliang (RAY).
KPK membagi perkara ini menjadi dua klaster:
- Klaster pertama — Empat proyek pembangunan jalan di lingkungan Dinas PUPR Sumut.
- Klaster kedua — Dua proyek pembangunan jalan di Satker PJN Wilayah I Sumut.
Total nilai proyek dari kedua klaster mencapai sekitar Rp231,8 miliar. Menurut KPK, M. Akhirun Efendi dan M. Rayhan Dulasmi Piliang diduga berperan sebagai pemberi suap, sedangkan penerima di klaster pertama adalah Topan Obaja Putra Ginting dan Rasuli Efendi Siregar, serta penerima di klaster kedua adalah Heliyanto.
Baca juga : Peran Duta GenRe Bali dalam Mencegah Penyalahgunaan NAPZA di Kalangan Remaja Singaraja
Kasus ini menunjukkan bahwa praktik korupsi dalam proyek infrastruktur di daerah tidak hanya melibatkan pihak eksekutif teknis, tetapi juga dapat bersinggungan dengan kalangan akademisi yang memegang posisi strategis di institusi pendidikan tinggi. Pemeriksaan terhadap Prof. Muryanto Amin, meski statusnya masih sebagai saksi, menandakan pentingnya prinsip akuntabilitas publik bagi pejabat di semua sektor, termasuk perguruan tinggi.
Dalam perspektif ilmu politik dan tata kelola pemerintahan, keterlibatan berbagai aktor dari lintas lembaga dan jabatan menunjukkan adanya jejaring patronase yang kuat antara pejabat publik dan sektor swasta. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian Transparency International bahwa proyek infrastruktur berisiko tinggi terhadap praktik korupsi karena sifatnya yang padat modal dan kompleks secara teknis.
Dari sudut pandang hukum pidana korupsi, KPK mengacu pada Pasal 12 huruf a dan b, serta Pasal 11 UU Tipikor yang mengatur sanksi bagi penerima gratifikasi atau suap terkait jabatan. Meski demikian, penegakan hukum juga perlu memastikan asas praduga tak bersalah, termasuk terhadap saksi-saksi yang diperiksa.
Kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat sistem pengadaan barang dan jasa yang transparan, memperketat pengawasan oleh APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah), serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi proyek publik.
Pewarta : Indra Saputra
