
RI News Portal. Jakarta, 29 September 2025 – Di tengah dinamika ekonomi pasca-pandemi, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang menggembirakan. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal pertama dan kedua tahun ini berhasil melampaui angka empat persen, sebuah capaian yang dikaitkan dengan evaluasi kebijakan bertahap dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Namun, di balik angka positif ini, perdebatan mengenai dampak impor terhadap tenaga kerja lokal terus bergulir.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, menegaskan bahwa tudingan terhadap kementeriannya sebagai biang keladi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor TPT adalah keliru. Dalam konferensi pers virtual yang digelar hari ini, Febri menjelaskan bahwa instrumen kebijakan Kemenperin hanyalah bagian kecil dari ekosistem impor secara keseluruhan. “Impor terbesar justru tidak melalui pertimbangan teknis (pertek),” ujarnya, menekankan bahwa mekanisme impor sering kali melibatkan jalur lain yang lebih dominan.
Lebih lanjut, Febri menyoroti ketidaksesuaian antara data Badan Pusat Statistik (BPS) dengan catatan pertek, yang sering dijadikan dasar kritik. Ia menjelaskan bahwa gap ini tidak bisa langsung dikaitkan dengan kebijakan Kemenperin, karena barang impor bisa masuk melalui berbagai celah seperti kawasan berikat, impor borongan, atau bahkan jalur ilegal tanpa larangan tata niaga (lartas). Pendekatan ini, menurutnya, mencerminkan kompleksitas rantai pasok global yang memengaruhi industri domestik.

Dalam konteks regulasi, Febri merinci bahwa sektor TPT mencakup 1.332 kode Harmonized System (HS) dari hulu hingga hilir. Dari jumlah tersebut, sebanyak 941 HS—orang sekitar 70,65 persen—masuk dalam kategori wajib Persetujuan Impor (PI) dan pertek, sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 17 Tahun 2025. Perubahan aturan ini, kata dia, justru menjadi bukti upaya pemerintah untuk mengendalikan banjir impor yang sebelumnya sulit diatasi karena banyak produk tidak termasuk dalam lartas atau PI.
“Regulasi baru semakin mempersempit celah masuknya impor TPT tanpa kendali,” tambah Febri, sambil mengingatkan bahwa sejak 2017, pengaturan impor TPT selalu berbasis aturan resmi, termasuk mekanisme kebutuhan tahunan. Ia menunjukkan data realisasi impor berdasarkan Verifikasi Kebutuhan Impor (VKI) dan pertek sebagai indikator selektivitas pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara impor dan perlindungan industri dalam negeri.
Sebuah perkembangan signifikan terjadi sejak Agustus 2025, ketika pengaturan impor pakaian jadi secara resmi dilimpahkan perteknya ke Kemenperin. Hal ini, menurut Febri, menempatkan seluruh rantai TPT dari hulu hingga hilir dalam koridor pengaturan yang lebih jelas dan terintegrasi. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi ketidakpastian yang selama ini menjadi sumber konflik antara pelaku industri dan regulator.
Baca juga : Di Balik Seragam Biru: IPTU Yanuar Triatmaja, Penegak Hukum yang Membentuk Juara Bela Diri
Untuk menjaga transparansi, Febri mengajak publik untuk aktif melaporkan jika menemukan bukti kecurangan dalam penerbitan pertek. “Apabila terbukti, hal itu akan dijadikan dasar membersihkan internal Kemenperin dari praktik curang,” tegasnya, menunjukkan komitmen terhadap akuntabilitas internal.
Dalam penutupannya, Febri menegaskan bahwa mekanisme impor TPT tetap berlandaskan aturan resmi, dengan pengecualian untuk kategori tertentu seperti kawasan berikat. “Kemenperin memastikan pengaturan impor TPT konsisten, transparan, serta akuntabel demi melindungi industri dalam negeri,” pungkasnya.
Artikel ini disusun dengan pendekatan jurnalistik akademis yang mengintegrasikan analisis regulasi dan data empiris, berbeda dari format media online konvensional yang sering kali lebih sensasional. Pembaca diundang untuk berinteraksi melalui komentar berbasis bukti di platform ini, guna memperkaya diskusi tentang kebijakan ekonomi nasional.
Pewarta : Vie
