
RI News Portal. Jakarta, 20 September 2025 – Di tengah tekanan fiskal yang semakin berat akibat subsidi energi yang membengkak, pemerintah Indonesia tengah merancang pendekatan inovatif untuk memangkas subsidi listrik tanpa harus menaikkan tarif bagi konsumen rumah tangga. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa fokus utama adalah pada pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan energi baru terbarukan (EBT) lainnya, yang diharapkan dapat menurunkan biaya produksi secara signifikan. Pernyataan ini disampaikan pasca-rapat dengan Presiden di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Jumat malam kemarin, menandai langkah strategis menuju energi berkelanjutan yang lebih mandiri.
Dalam konteks ekonomi nasional, subsidi listrik telah menjadi beban berat bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan alokasi yang mencapai triliunan rupiah setiap tahun. Namun, Purbaya menekankan bahwa pengurangan subsidi bukan berarti pemindahan beban ke masyarakat. “Tujuannya itu. Kalau subsidi berkurang, bukan dinaikkan harganya, tapi dicari sumber listrik yang biayanya murah,” ujarnya, sembari membantah spekulasi bahwa pemerintah sengaja memprovokasi isu kenaikan tarif. Pendekatan ini selaras dengan tren global transisi energi, di mana negara-negara berkembang seperti Indonesia berupaya mengintegrasikan EBT untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, yang tidak hanya mahal tapi juga rentan terhadap fluktuasi harga internasional.

Purbaya mengungkapkan bahwa ide pengurangan subsidi melalui PLTS pertama kali dibahas dalam pertemuan di Hambalang, di mana tantangan utama adalah biaya produksi yang masih tinggi. “Waktu di Hambalang kemarin, ada diskusi tentang program pengurangan subsidi listrik dengan penggunaan PLTS Surya. Tapi harganya masih agak tinggi. Sekarang sedang dicari teknologi baru supaya harga produksinya mendekati harga murah sekarang, sehingga subsidi bisa mengecil atau hilang,” jelasnya. Upaya ini melibatkan pencarian inovasi teknologi untuk menekan biaya, termasuk produksi panel surya dan baterai secara domestik, yang diharapkan dapat menciptakan ekosistem industri baru di dalam negeri.
Analisis akademis menunjukkan bahwa strategi ini bisa menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dengan mengalihkan dana subsidi ke investasi infrastruktur EBT, pemerintah tidak hanya menghemat anggaran tetapi juga menciptakan lapangan kerja di sektor hijau. Sebagai contoh, rencana pemerintah untuk membangun 100 GW kapasitas PLTS hingga 2060, termasuk 80 GW melalui instalasi atap rumah tangga, dianggap sebagai langkah ambisius yang dapat mengurangi emisi karbon sekaligus menstabilkan pasokan energi di daerah pedesaan dan terpencil. Selain itu, regulasi baru yang sedang disiapkan untuk mendorong PLTS di desa-desa memperkirakan bahwa dalam empat hingga lima tahun ke depan, subsidi energi bisa dialihkan sepenuhnya ke panel surya, menghilangkan kebutuhan subsidi berkelanjutan.
Baca juga : Satpol PP Jakarta Barat Selidiki Dua Indekos Tanjung Duren Utara atas Dugaan Prostitusi dan Pelanggaran Izin
Purbaya mengakui bahwa proses ini memerlukan perhitungan matang mengenai investasi awal. “Maunya subsidi itu hilang semua, tapi nggak segampang itu. Saya sudah lihat desain PLTS yang menjanjikan, tapi hitungannya belum selesai. Masih harus dikerjakan lagi,” katanya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ditugaskan untuk menetapkan jadwal implementasi, memastikan bahwa setiap kebijakan selaras dengan target nasional EBT sebesar 23 persen pada 2025. Ini mencakup pembangunan 17 GW kapasitas PLTS baru, didukung oleh sistem baterai, sebagai bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang baru saja diratifikasi, dengan total tambahan 42,6 GW energi terbarukan.
Dari perspektif jurnalistik akademis, pendekatan ini menawarkan peluang untuk mengintegrasikan ekonomi dengan keadilan energi, sebagaimana dibahas dalam Indonesia Solar Summit 2025 yang menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan akses energi merata. Namun, tantangan tetap ada, seperti resistensi dari perusahaan utilitas dan agen pemerintah terhadap target rooftop PLTS sebesar 3,6 GW hingga 2025, karena isu biaya dan integrasi jaringan. Sistem PLTS atap rumah, yang terdiri dari modul surya, inverter, dan instalasi listrik pelanggan, diharapkan menjadi solusi utama untuk mengurangi subsidi tanpa mengganggu daya beli masyarakat.
Purbaya memastikan bahwa kebijakan ini akan diarahkan pada penyediaan listrik yang lebih murah dan berkelanjutan. “Kami akan menghitung kebutuhan investasi awal untuk memastikan teknologi PLTS dan produksi baterai maupun panel surya dalam negeri benar-benar efisien,” tambahnya. Dengan demikian, transisi ini tidak hanya menargetkan penghematan fiskal tetapi juga kontribusi terhadap tujuan global seperti Net Zero Emission, sambil memperkuat ketahanan energi nasional di tengah perubahan iklim.
Artikel ini menyajikan analisis mendalam berbasis data terkini, berbeda dari liputan media online konvensional yang sering kali hanya fokus pada kutipan resmi tanpa eksplorasi implikasi jangka panjang. EBI News berkomitmen untuk menyediakan perspektif holistik, menggabungkan fakta jurnalistik dengan wawasan akademis untuk mendukung diskusi publik yang informatif.
Pewarta : Yudha Purnama
