
RI News Portal. Sumbussalam — Di tengah hiruk-pikuk peringatan tahunan yang seringkali diselimuti oleh pemahaman populer, penting untuk kembali ke akar historis agar tidak terjebak dalam salah pengertian. Setiap 14 September, masyarakat Subulussalam, Aceh, merayakan Hari Jadi yang ke-63 pada tahun 2025 ini—sebuah momen yang bukan menandai kelahiran pemerintahan kota otonom, melainkan penabalan nama “Subulussalam” itu sendiri. Klarifikasi ini bukan sekadar koreksi faktual, melainkan upaya akademis untuk mempertahankan integritas narasi sejarah lokal di era digital, di mana informasi seringkali tersebar secara fragmentaris melalui media sosial dan platform online.
Pada 14 September 1962, dalam sebuah kunjungan kerja ke wilayah yang saat itu dikenal sebagai Kecamatan Simpang Kiri, Gubernur Aceh Prof. Aly Hasymi—seorang tokoh intelektual yang dikenal dengan kontribusinya dalam pendidikan dan budaya Aceh—menabalkan nama “Subulussalam” sebagai identitas baru bagi ibu kota kecamatan tersebut. Nama ini, yang berasal dari bahasa Arab dan bermakna “jalan keselamatan” atau “jalan menuju kedamaian dan kesejahteraan,” bukanlah pilihan sembarangan. Ia mencerminkan aspirasi masyarakat pasca-konflik, di mana wilayah ini, yang berada di perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara, sering menjadi koridor perdagangan dan migrasi yang penuh tantangan.

Kunjungan tersebut, yang diselenggarakan melalui acara resmi, menjadi titik balik simbolis. Sejak saat itu, nama Subulussalam resmi digunakan, menggantikan penyebutan lama dan memberikan identitas kolektif yang lebih kuat. Dalam konteks akademis, peristiwa ini dapat dilihat sebagai bagian dari upaya rekonstruksi identitas daerah di masa Orde Lama, di mana pemimpin lokal seperti Hasymi berperan dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan pembangunan regional. Peringatan tahunan ini, yang kini telah mencapai usia 63 tahun, berfungsi sebagai pengingat agar generasi muda tidak melupakan fondasi filosofis ini, yang jauh melampaui batas administratif.
Seringkali, ada kebingungan di kalangan masyarakat—terutama di media online yang cenderung menyederhanakan narasi—antara Hari Jadi Subulussalam dengan kelahiran Pemerintahan Kota (Pemko) Subulussalam. Yang pertama adalah perayaan kultural dan historis, sementara yang kedua adalah milestone administratif yang lahir dari proses pemekaran wilayah. Pemko Subulussalam secara resmi terbentuk melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Subulussalam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang diundangkan pada 2 Januari 2007. Proses legislasi ini mencapai puncaknya pada Sidang Paripurna DPR RI tanggal 26 November 2006, di mana pemekaran dari Kabupaten induk Aceh Singkil disetujui, menciptakan entitas otonom baru dengan luas wilayah sekitar 1.391 km².
Baca juga : Razia Obat Daftar G di Serpong Gagal, Diduga Informasi Bocor
Perbedaan ini bukan hanya soal tanggal, melainkan tentang esensi: nama Subulussalam mewakili warisan budaya yang timeless, sementara pemekaran adalah respons terhadap dinamika otonomi daerah pasca-Reformasi 1998. Dalam analisis jurnalistik akademis, kebingungan ini sering muncul karena kurangnya dokumentasi digital yang komprehensif, di mana platform media online existing cenderung fokus pada peristiwa kontemporer tanpa mendalami konteks historis. Pendekatan ini—yang kami adopsi di sini—berbeda dengan gaya berita kilat yang umum, dengan menekankan narasi mendalam untuk membangun pemahaman holistik.
Proses pemekaran Pemko Subulussalam bukanlah jalan mulus; ia melibatkan perjuangan panjang yang melelahkan, dimulai dari pembentukan Panitia Pemekaran pada akhir 1990-an. Upaya ini mencakup penggalangan dukungan masyarakat luas, serta kolaborasi dengan petinggi Pemkab Aceh Singkil dan DPRK Aceh Singkil. Dukungan krusial datang dari Bupati Aceh Singkil saat itu, H. Makmur Syahputra, SH, yang menerbitkan surat dukungan nomor 1461/2520/2002, menandai mufakat bersama dengan DPRK dan tokoh masyarakat lainnya.
Alhamdulillah, proses berjalan lancar berkat sinergi ini, menghasilkan kelahiran Pemko Subulussalam sebagai kota otonom. Puncaknya adalah pelantikan Asmauddin sebagai Ketua Panitia Pemekaran sekaligus Penjabat (PJ) Walikota pertama pada 15 Juni 2007, oleh Menteri Dalam Negeri Widodo AS. Pelantikan ini tidak hanya menandai penetapan administratif, tetapi juga harapan agar kota ini maju dan mensejahterakan rakyatnya. Dalam perspektif akademis, perjuangan ini mencerminkan model bottom-up dalam otonomi daerah Indonesia, di mana dukungan lokal menjadi kunci sukses, berbeda dengan kasus pemekaran lain yang sering terhambat oleh konflik birokratis.
Di era media online di mana informasi beredar cepat namun sering dangkal, klarifikasi seperti ini menjadi esensial untuk mempertahankan akurasi sejarah. Hari Jadi Subulussalam pada 14 September bukanlah tentang struktur pemerintahan, melainkan tentang identitas yang lahir dari visi keselamatan dan kedamaian. Sementara itu, Pemko Subulussalam mewakili evolusi administratif yang mendukung pembangunan. Dengan memahami perbedaan ini, masyarakat dapat lebih menghargai perjalanan panjang wilayah ini—from a symbolic naming in 1962 to an autonomous entity in 2007—dan terus membangun masa depan yang sejahtera. Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, melainkan panduan untuk menghindari salah pengertian di masa kini.
Pewarta : Jaulin Saran
