
RI News Portal. Wonogiri, Karangtengah, 14 Agustus 2025 – Seni tari tayub, salah satu warisan budaya Jawa kuno, sempat hilang dari peredaran akibat modernisasi dan maraknya seni pertunjukan kolaborasi atau adopsi dari luar daerah. Kini, warga Desa Purwoharjo, Kecamatan Karangtengah, berupaya menggali dan menghidupkan kembali tradisi ini agar kembali akrab di telinga masyarakat Wonogiri.
Wahyu Nirwana, salah satu perangkat Desa Purwoharjo, mengungkapkan bahwa desanya mulai mengangkat kembali budaya tari tayub yang telah lama tenggelam, bahkan nyaris hilang selama puluhan tahun.
“Desa kami berbatasan langsung dengan wilayah Nawangan, Jawa Timur, di mana seni tayub masih populer dibanding hiburan lainnya. Menariknya, tidak pernah ada benturan atau kontroversi dengan bentuk hiburan lain,” jelasnya.
Menurut Wahyu, seni campursari saat ini memang sedang tren di beberapa wilayah, namun tetap dapat berjalan berdampingan dengan seni tayub. Bahkan, dalam satu acara, penampilan campursari dan tayub diatur bergantian agar saling melengkapi. Meski demikian, tayub yang dibangkitkan kembali oleh warga Purwoharjo kini berbeda dari tayub tempo dulu.
“Kalau dulu, tayub sering identik dengan mabuk-mabukan dan sawer terhadap ledek (penari). Sekarang, tayub hanya menjadi tarian bersama seperti senam, diiringi musik gamelan,” imbuhnya.

Wahyu menambahkan, tayub kini digemari oleh semua kalangan, mulai dari anak sekolah dasar hingga orang tua lanjut usia, tanpa memandang jabatan atau gelar. Saat ada warga yang mengadakan hajatan, hiburan tayub kerap dihadirkan secara terbuka, dan tamu yang hadir pun diperbolehkan menari bersama penari yang diundang oleh tuan rumah.
Meski tidak memiliki sanggar khusus, di Dusun Masaran, Desa Purwoharjo terdapat sosok tokoh tari tayub sekaligus maestro tari kethek ogleng, yakni Patmo Suwito.
Melalui sambungan telepon WhatsApp kepada RI News Portal, Patmo menjelaskan bahwa tari tayub konon berkembang di berbagai wilayah Jawa Tengah. Menurutnya, tayub diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan memiliki aturan atau pakem tertentu.
“Namanya TAYUB itu artinya ‘Di Tata Sing Guyub’. Kalau ada tayub yang sembarangan, itu berarti mereka tidak paham pakemnya dan hanya menari seperti jogetan dangdut,” tegas Patmo.
Baca juga : Pemdes Desa Sriagung Gelar Lomba HUT RI ke-80: Pererat Silaturahmi dan Tumbuhkan Semangat Nasionalisme
Ia menjelaskan, tari tayub mudah dipelajari dan biasanya dilatih di tingkat RT, tanpa memerlukan sanggar khusus. Tayub sendiri memiliki dua versi. Versi lama dilakukan dengan mengelilingi ledek, memberi saweran, dan sering disertai mabuk-mabukan. Sementara versi baru — seperti yang berkembang di Purwoharjo saat ini — dilakukan dengan gerakan seragam dan serentak, tanpa ledek, tanpa mabuk, dan tanpa sawer. “Tayub sekarang seperti senam poco-poco yang diiringi gending Jawa,” ujarnya.
Patmo menegaskan bahwa tayub modern di Purwoharjo dilakukan oleh semua orang, mulai dari anak SD kelas satu hingga orang dewasa, tanpa memandang status sosial. “Seni tayub sekarang telah berubah dari tarian yang terkesan norak dan ugal-ugalan menjadi tarian yang tertata dan guyub. Tayub yang sebenarnya adalah yang kita jalankan sekarang ini. Dulu malah namanya lengger,” tambahnya.
Meskipun di banyak wilayah Wonogiri seni tayub sudah mati, di Purwoharjo tradisi ini masih hidup dan hadir di berbagai acara, seperti hajatan warga, bersih dusun, bersih desa, peringatan HUT RI, HUT Wonogiri, maupun HUT Desa Purwoharjo.
Menurut Patmo, tayub modern di Purwoharjo sangat mungkin dipengaruhi oleh tradisi di Kabupaten Pacitan. “Desa Purwoharjo berada di wilayah perbatasan dengan Pacitan. Wajar jika tradisi tayub yang tetap lestari di Pacitan juga abadi di Purwoharjo,” pungkasnya
Pewarta : Nandar Suyadi
