
RI News Portal. Jakarta – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menegaskan bahwa pemerintah daerah (Pemda) harus segera mengambil langkah konkret dalam memperbaiki fasilitas publik yang rusak akibat aksi anarkistis di sejumlah daerah dalam beberapa pekan terakhir. Menurutnya, kerusakan yang dibiarkan terlalu lama hanya akan memperdalam trauma kolektif di tengah masyarakat.
“Jangan dibiarkan (fasilitas yang rusak) karena itu akan membuat trauma publik. Jadi segera dilakukan perbaikan, dan kalau yang memerlukan waktu lama, tutup areanya agar tidak menambah beban psikologis warga,” ujar Tito usai memimpin Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah di Kantor Kemendagri, Jakarta, Selasa.
Tito menjelaskan bahwa perbaikan dapat menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, ia juga membuka opsi partisipasi masyarakat melalui mekanisme hibah atau dukungan gotong royong, terutama dari daerah atau kelompok yang memiliki kapasitas fiskal lebih kuat.
“Kalau nanti APBD-nya kesulitan, ya bisa melalui mekanisme hibah. Misalnya hibah dari pemerintah provinsi, dari kabupaten lain yang lebih mampu anggarannya,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa pemerintah pusat tidak menutup kemungkinan turun tangan membantu, meski hingga kini total kerugian nasional masih dalam tahap penghitungan.
Mendagri menyoroti bahwa kerusakan fasilitas publik bukan hanya soal infrastruktur, melainkan juga persoalan sosial. Ia menekankan pentingnya langkah pemulihan kolektif, di antaranya dengan menggelar rapat koordinasi bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Selain itu, dialog terbuka dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga akademisi dinilai perlu untuk meredam ketegangan dan membangun kembali kepercayaan publik.
“Pemda juga bisa menginisiasi kegiatan yang menghadirkan kedamaian, seperti doa bersama lintas masyarakat. Upaya simbolis semacam itu dapat memperkuat rekonsiliasi sosial,” jelas Tito.
Baca juga : Polda Jateng Tetapkan 46 Tersangka dalam Aksi Rusuh, Mayoritas Masih Berusia Muda
Dalam konteks sosial-ekonomi, Mendagri meminta pemerintah daerah memperkuat program yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat, seperti pasar murah dan distribusi bantuan sosial. Sebaliknya, kegiatan seremonial yang bersifat simbolis namun berbiaya tinggi disarankan ditunda.
Lebih jauh, Tito mengingatkan agar pejabat publik beserta keluarganya tidak mempertontonkan gaya hidup mewah di tengah kondisi masyarakat yang sedang sulit. “Simbol kesederhanaan dari pejabat bisa menjadi contoh moral bagi rakyat,” katanya.
Untuk menjaga stabilitas, Mendagri menunda persetujuan perjalanan ke luar negeri bagi kepala daerah, khususnya mereka yang wilayahnya tergolong rawan pasca-aksi unjuk rasa. Ia menegaskan agar para kepala daerah fokus pada upaya pengendalian situasi bersama Forkopimda di daerah masing-masing.
Pesan Mendagri ini menegaskan bahwa penanganan pasca-kerusuhan tidak bisa dipandang sekadar teknis perbaikan infrastruktur, melainkan bagian dari proses rekonstruksi sosial. Teori-teori politik publik menunjukkan bahwa pemulihan pascakerusuhan harus mencakup dua dimensi: material (perbaikan fisik fasilitas) dan immaterial (rekonsiliasi sosial serta penguatan kepercayaan masyarakat kepada negara).
Langkah membatasi perjalanan kepala daerah, menunda kegiatan seremonial, serta mendorong gaya hidup sederhana dapat dibaca sebagai strategi untuk mengembalikan wibawa pemerintah sekaligus mengurangi kesenjangan persepsi antara rakyat dan elite. Di sisi lain, keterlibatan Forkopimda dan tokoh masyarakat menunjukkan pola governance yang kolaboratif dan lintas sektor, yang diperlukan untuk meredam potensi konflik lanjutan.
Pewarta : Albertus Parikesit
