
RI News Portal. Palembang, 6 Oktober 2025 – Sungai Musi, aliran air yang menjadi nadi kehidupan Palembang, kembali mengungkap rahasia masa lalu. Di dasar sungai yang tenang, ratusan manik-manik kuno muncul ke permukaan, membawa cerita tentang kejayaan perdagangan, percampuran budaya, dan kemajuan teknologi dari era Sriwijaya hingga masa penyebaran Islam. Temuan ini tidak hanya memperkaya khazanah sejarah, tetapi juga menegaskan posisi Palembang sebagai simpul penting dalam jaringan perdagangan global pada masa lampau.
Komunitas Kompas Nusantara, yang terdiri dari para detektor logam dan penyelam sungai, secara simbolis menyerahkan ratusan butir manik-manik antik kepada Museum Negeri Sumatera Selatan (Museum Balaputra Dewa). Penyerahan dilakukan oleh perwakilan komunitas, M Ary Anggara (Arya) dan Bambang, dalam tiga kotak plastik berisi manik-manik dari berbagai periode sejarah. “Beberapa manik-manik ini masih terjaga dengan sangat baik. Ada yang dihiasi ornamen mozaik dengan nuansa Islam, menunjukkan pengaruh budaya Turki pada masa penyebaran agama tersebut,” ujar Arya usai penyera
Sungai Musi bukan sekadar aliran air, melainkan jalur perdagangan yang menghubungkan Nusantara dengan dunia. Sejak era Sriwijaya (abad 7-13 M), hingga masa Majapahit dan penyebaran Islam, sungai ini menjadi pusat aktivitas ekonomi dan budaya. Manik-manik yang ditemukan menjadi bukti nyata betapa luasnya jaringan perdagangan pada masa itu. Bahan seperti lapis lazuli dari kawasan Romawi, batu kuning dari India, serta pengaruh Tibet dan Tiongkok, menunjukkan koneksi lintas benua yang telah terjalin berabad-abad lalu.

Manik-manik ini bervariasi dalam bentuk dan bahan. Tembikar polos dengan warna khas seperti merah hati (carnelian), kuning, dan hitam mencerminkan gaya sederhana era Sriwijaya dan Majapahit. Sementara itu, manik-manik bermotif mozaik dengan warna mencolok menandakan pengaruh budaya Islam dan hubungan dengan jalur perdagangan internasional. “Yang polos biasanya dari masa Sriwijaya dan Majapahit, tapi yang bermotif mozaik menunjukkan masuknya pengaruh luar,” jelas Arya, yang juga menjabat sebagai Ketua Komunitas Metal Detector.
Keragaman bahan manik-manik tidak hanya mencerminkan jangkauan perdagangan, tetapi juga kemajuan teknologi pembuatannya. Batu kuarsa dan tanah liat dari Kalimantan menghasilkan warna hijau khas yang masih digunakan pengrajin lokal hingga kini. “Teknik pembuatannya sangat maju untuk zamannya. Mereka menggunakan cetakan, pembakaran, dan pewarnaan dari mineral alami dengan presisi tinggi meski dikerjakan secara manual,” ungkap Arya.
Temuan ini juga menyoroti peran lokal dalam perdagangan global. Bahan seperti batu kuarsa dari Kalimantan menunjukkan bahwa Nusantara tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga penyedia bahan baku yang diolah dengan keterampilan tinggi.
Baca juga : Porprov Bali 2027: Fokus Baru di Buleleng dengan Semangat Kedaerahan
Museum Balaputra Dewa kini menjadi rumah baru bagi koleksi manik-manik ini. Ratusan butir tersebut akan diteliti lebih lanjut dan dipamerkan untuk publik sebagai bagian dari narasi sejarah Palembang sebagai pusat peradaban global. Pihak museum menyambut baik kontribusi Kompas Nusantara, yang dinilai sebagai pelaku kunci dalam pelestarian warisan budaya.
Bagi para arkeolog dan sejarawan, manik-manik ini bukan sekadar perhiasan. Setiap butir adalah serpihan sejarah yang menceritakan kisah perdagangan, percampuran budaya, dan inovasi teknologi. “Palembang bukan hanya pusat kebudayaan lokal, tetapi titik temu peradaban global sejak berabad-abad lalu,” tutup Arya, berharap temuan ini dapat menginspirasi generasi muda untuk mengenal sejarah Nusantara lebih dalam.
Penemuan manik-manik ini mengingatkan kita bahwa Sungai Musi adalah lebih dari sekadar aliran air—ia adalah saksi bisu kejayaan masa lalu. Jauh sebelum teknologi modern menghubungkan dunia, Sungai Musi telah menjadi jalur yang mengalirkan ide, budaya, dan barang dari berbagai penjuru. Koleksi ini kini menanti untuk diceritakan kembali, menghidupkan kembali kejayaan Palembang sebagai salah satu pusat peradaban dunia.
Pewarta : Alfika Darwis
