RI News Portal. New York, 3 Desember 2025 – Dalam sidang yang penuh ketegangan, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa malam waktu setempat (2/12) mengadopsi dua resolusi krusial yang mengecam pendudukan Israel atas wilayah Palestina dan Dataran Tinggi Golan milik Suriah. Langkah ini, yang mendapat dukungan mayoritas anggota PBB, datang di saat yang ironis: di tengah kemajuan rencana perdamaian komprehensif yang diajukan Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri konflik di Jalur Gaza, yang kini telah disepakati oleh Israel dan kelompok perlawanan Hamas. Resolusi-resolusi ini tidak hanya menguatkan prinsip hukum internasional, tetapi juga menyoroti kontradiksi mendalam dalam upaya diplomatik global untuk menyelesaikan konflik Timur Tengah yang berkepanjangan.
Resolusi pertama, berjudul “Penyelesaian Damai Masalah Palestina”, disusun oleh delegasi Djibouti, Yordania, Mauritania, Qatar, Senegal, dan Palestina, disahkan dengan 151 suara mendukung, 11 menentang, serta 11 abstain. Dokumen ini menegaskan ulang tanggung jawab historis PBB terhadap isu Palestina, sejak Resolusi 181 tahun 1947 yang membagi wilayah tersebut menjadi dua negara. Lebih lanjut, resolusi menyerukan penghentian segera pendudukan Israel sejak 1967, termasuk evakuasi seluruh pemukiman ilegal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. “Pendudukan ini bukan hanya pelanggaran hukum internasional, tetapi juga penghalang utama bagi Solusi Dua Negara yang menjadi satu-satunya jalan menuju perdamaian abadi,” ujar perwakilan Palestina Riyad Mansour dalam pidato emosionalnya, mengutip Konvensi Jenewa Keempat yang melarang pemindahan penduduk ke wilayah pendudukan.

Resolusi tersebut juga mendesak dimulainya kembali negosiasi langsung antara Israel dan Palestina, dengan menekankan bahwa perubahan perbatasan sepihak—seperti pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel—tidak akan diakui oleh komunitas internasional. Di tengah krisis kemanusiaan yang memburuk di Gaza, di mana lebih dari 40.000 jiwa telah tewas sejak Oktober 2023 menurut laporan PBB, teks ini menuntut peningkatan bantuan darurat dan menghentikan blokade yang membatasi pasokan makanan serta obat-obatan. “Kami tidak bisa membiarkan penderitaan ini berlanjut; ini adalah panggilan untuk aksi kolektif agar Palestina bisa berdiri sebagai negara berdaulat,” tambah Mansour, yang pidatonya disambut tepuk tangan meriah dari delegasi Arab dan Afrika.
Sementara itu, resolusi kedua mengenai Dataran Tinggi Golan, yang disusun oleh Mesir, lolos dengan 123 suara mendukung, tujuh menentang, dan 41 abstain. Dokumen ini dengan tegas menyatakan bahwa keputusan Israel pada 14 Desember 1981 untuk memaksakan hukum, yurisdiksi, dan administrasinya atas wilayah tersebut “batal demi hukum dan tidak memiliki validitas apa pun”. Ini merujuk pada Resolusi Dewan Keamanan 497 tahun 1981, yang dianggap mengikat oleh mayoritas anggota PBB. Resolusi menuntut penarikan pasukan Israel dari seluruh Golan Suriah sesuai garis batas 4 Juni 1967—sehari sebelum pecahnya Perang Enam Hari yang mengubah peta geopolitik kawasan.
Perwakilan Suriah, Hussam Edin Aala, menyebut resolusi ini sebagai “kemenangan moral bagi kedaulatan kami”, menyoroti bagaimana pendudukan Golan telah menghambat pemulihan pasca-perang saudara di negaranya. “Israel tidak boleh terus mengabaikan resolusi PBB; ini ancaman bagi stabilitas regional,” tegasnya, sambil menyinggung ancaman keamanan dari kelompok bersenjata di perbatasan. Delegasi Israel, sementara itu, menolak kedua resolusi sebagai “anti-Israel dan tidak realistis”, dengan Duta Besar Danny Danon menyatakan bahwa Golan adalah “garis pertahanan vital” terhadap agresi Suriah dan Iran.
Yang membuat momen ini semakin kompleks adalah konteks rencana perdamaian Trump yang baru saja mencapai kesepakatan awal. Diungkapkan pada akhir September 2025, rencana 20 poin ini mencakup gencatan senjata segera, pembebasan sandera Israel yang tersisa (sekitar 48 orang, termasuk 20 yang diyakini masih hidup), pertukaran tahanan dengan 250 narapidana Palestina berhak usai seumur hidup serta 1.700 deteni Gaza, dan demiliterisasi Gaza di bawah pengawasan pasukan stabilisasi internasional. Israel dan Hamas telah menandatangani fase pertama pada 9 Oktober di Sharm el-Sheikh, Mesir, yang efektif sejak 10 Oktober, termasuk aliran bantuan kemanusiaan skala besar untuk rekonstruksi infrastruktur seperti air, listrik, dan rumah sakit.

Rencana ini juga mengusulkan pemerintahan sementara Gaza oleh komite teknokrat Palestina yang apolitik, di bawah “Dewan Perdamaian” yang dipimpin Trump dan melibatkan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Anggota Hamas yang memilih damai akan mendapat amnesti, sementara yang lain bisa meninggalkan Gaza melalui koridor aman. Dukungan luas dari negara-negara Arab, Islam, dan Resolusi Dewan Keamanan 2803 (November 2025) telah membuka jalan bagi fase kedua: penarikan bertahap pasukan Israel dan transisi kekuasaan ke Otoritas Palestina yang direformasi, dengan jalan menuju kedaulatan Palestina bersyarat.
Namun, para analis memperingatkan potensi kontradiksi. “Resolusi PBB menegaskan Solusi Dua Negara, tapi rencana Trump lebih fokus pada Gaza sebagai ‘zona bebas teror’ sementara, tanpa jaminan negara Palestina penuh,” kata Dr. Lina Al-Hathloul, pakar hubungan internasional dari Universitas Kairo, dalam wawancara eksklusif. Ia menambahkan bahwa tanpa mekanisme penegakan yang kuat, seperti pengawasan PBB atas demiliterisasi Hamas, rencana ini berisiko gagal seperti gencatan senjata sebelumnya pada Januari 2025. Sementara itu, perwakilan AS menekankan bahwa resolusi Majelis Umum “tidak mengikat” dan tidak menghambat negosiasi langsung, meski Washington tetap menentang keduanya.

Sidang ini mencerminkan dinamika global yang rapuh: di satu sisi, mayoritas dunia mendukung hak Palestina berdasarkan hukum internasional; di sisi lain, inisiatif Trump menawarkan harapan pragmatis untuk mengakhiri penderitaan Gaza segera. Dengan musim dingin yang semakin dekat dan bantuan mendesak dibutuhkan, para pemimpin dunia kini dihadapkan pada pilihan krusial—apakah resolusi ini akan menjadi katalisator damai, atau sekadar babak baru dalam siklus konflik yang telah merenggut jutaan nyawa dan mimpi sejak 1948.
Para delegasi berharap fase kedua rencana Trump, yang dibahas Dewan Keamanan PBB pekan ini, bisa selaras dengan tuntutan resolusi Majelis Umum. “Perdamaian sejati membutuhkan komitmen bersama, bukan deklarasi semata,” tutup Presiden Majelis Umum Philemon Yang dari Kamerun, mengingatkan bahwa “kekerasan dan pendudukan tak pernah melahirkan keamanan abadi.” Di tengah kabut geopolitik, dunia menunggu langkah selanjutnya—apakah ini akhir dari tragedi, atau prolog baru.
Pewarta : Setiawan Wibisono

