
RI News Portal. Padangsidimpuan, 19 September 2025 – Di tengah hiruk-pikuk pasca-pemilihan kepala daerah, isu dugaan penyalahgunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali menjadi sorotan di kalangan masyarakat Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel). Kasus yang mencuat sejak akhir 2024 ini, kini memasuki fase ketidakpastian yang semakin membuat warga resah. Penanganan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai lamban, meskipun sudah ada dua tersangka yang ditahan sejak beberapa bulan lalu. Nama-nama tokoh politik, termasuk Bupati Tapanuli Selatan (Tapsel) Gus Irawan Pasaribu, terseret dalam daftar penerima dana yang diduga menyimpang dari tujuan sosialnya.
Isu ini bukan sekadar gosip lokal, melainkan mencerminkan masalah struktural dalam pengelolaan dana publik di Indonesia. Dana CSR, yang seharusnya dialokasikan untuk program sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat, diduga dialihkan ke kepentingan pribadi atau politik. Menurut data awal dari KPK, dugaan ini melibatkan gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang melibatkan puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2019-2024, khususnya dari Komisi XI yang membidangi sektor keuangan. Di antara nama-nama tersebut, Gus Irawan Pasaribu—yang saat itu menjabat sebagai anggota DPR RI dari Partai Gerindra—disebut menerima aliran dana dengan nilai yang bervariasi, mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah per orang.
Kini, sebagai Bupati Tapsel yang baru saja dilantik untuk periode 2024-2029, posisi Gus Irawan semakin rumit. Masyarakat Tabagsel, yang awalnya menyambut kemenangannya dengan harapan perubahan, kini dibuat bingung oleh ketidakjelasan proses hukum. Salah seorang warga, yang enggan disebut nama aslinya dan kami sebut saja Ucok, menyampaikan kebingungannya dalam wawancara eksklusif dengan Insight Akademik. “Saya semakin bingung melihat penanganan dana CSR ini. Sudah ada dua tersangka yang ditahan KPK beberapa bulan lalu, tapi nama-nama lain seperti Gus Irawan kok belum ada tindak lanjut? Berita di media online lama-lama hilang, seolah-olah kasus ini ditutup-tutupi,” ujar Ucok, seorang petani di kawasan Sipirok. Pendapat Ucok mencerminkan sentimen umum di Tabagsel, di mana kepercayaan terhadap institusi penegak hukum mulai terkikis akibat lambannya proses.

Ketidakpuasan ini semakin memuncak dengan aksi-aksi sipil. Pada akhir Agustus lalu, Aliansi Tabagsel Bersatu—sebuah koalisi masyarakat sipil yang mencakup berbagai elemen, termasuk Waktu Indonesia Bergerak (WIB) Tapanuli Selatan—menggelar unjuk rasa di depan Kantor Bupati Tapsel. Burhanuddin, Ketua WIB Tapanuli Selatan, menjadi salah satu tokoh vokal dalam gerakan ini. Dalam orasinya, ia menegaskan bahwa jika tidak ada penyelesaian segera, aksi jilid kedua akan digelar dalam waktu dekat. “Penanganan KPK lamban dalam menangani kasus CSR ini. Nama Bupati Tapsel ada terseret dalam daftar yang diumumkan KPK, tapi sampai saat ini belum ada kejelasan terkait dana CSR yang diterima Gus Irawan Pasaribu,” kata Burhanuddin kepada awak media saat itu.
Lebih lanjut, Burhanuddin menjelaskan rencana eskalasi. “Dalam waktu dekat, kami menunggu kinerja dari KPK tentang penanganan masalah penyalahgunaan dana CSR ini. Kalau tidak ada tindak lanjutnya, kami akan berangkat ke kantor KPK di Jakarta untuk mempertanyakan dan mendesak penyelesaian kelanjutan masalah dana CSR tentang terseretnya nama Bupati Tapanuli Selatan Gus Irawan Pasaribu, yang mana pada saat itu menjabat sebagai DPR RI di Komisi XI,” tambahnya. Pernyataan ini bukan ancaman kosong; ia mencerminkan frustrasi kolektif masyarakat yang merasa hukum tidak berjalan adil di wilayah mereka, yang dikenal dengan nilai budaya Dalihan Natolu—tiga tungku yang melambangkan keseimbangan antara pemimpin, adat, dan rakyat.
Burhanuddin menambahkan nada tegas: “Kami tidak akan biarkan hukum di tanah Dalihan Natolu ini, umumnya Tabagsel dan terkhusus Tapanuli Bagian Selatan, tidak bisa dimainkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Kami dari WIB akan terus mengawal masalah ini sampai tuntas.” Kutipan ini menggarisbawahi dimensi budaya dalam tuntutan masyarakat, di mana akuntabilitas pemimpin bukan hanya urusan hukum, tapi juga etika sosial yang melekat pada identitas Batak.
Dari perspektif akademis, kasus ini menyoroti kegagalan dalam mekanisme pengawasan dana CSR di Indonesia. CSR, sebagai instrumen tanggung jawab sosial perusahaan, seharusnya dikelola dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas untuk menghindari penyelewengan. Penelitian dari berbagai jurnal ekonomi menunjukkan bahwa penyalahgunaan dana semacam ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan dan pemerintahan, yang pada akhirnya menghambat pembangunan daerah seperti Tabagsel yang masih bergantung pada program sosial. Lambannya KPK dalam menindaklanjuti nama-nama besar, termasuk yang masih aktif di jabatan publik, bisa dilihat sebagai tantangan sistemik: konflik kepentingan antara politik dan penegakan hukum.
Sampai saat ini, KPK belum memberikan pernyataan resmi terbaru mengenai kemajuan kasus ini sejak pengumuman dua tersangka pada Agustus 2025. Sementara itu, Gus Irawan Pasaribu sendiri belum memberikan tanggapan publik yang mendalam, meskipun jabatannya sebagai bupati terus berjalan. Masyarakat Tabagsel berharap agar isu ini tidak lenyap begitu saja, melainkan menjadi momentum untuk reformasi pengelolaan dana publik. Insight Akademik akan terus memantau perkembangan ini, dengan fokus pada analisis mendalam yang mengedepankan fakta dan implikasi jangka panjang bagi tata kelola daerah.
Pewarta : Indra Saputra
