RI News Portal. Semarang, 17 Desember 2025 – Ketidakhadiran mantan Bupati Karanganyar, Juliyatmono, sebagai saksi dalam sidang lanjutan dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Masjid Agung Madaniyah Karanganyar pada Selasa, 16 Desember 2025, telah memicu reaksi keras dari kalangan masyarakat sipil. Juliyatmono, yang kini menjabat sebagai anggota DPR RI, untuk kedua kalinya tidak memenuhi panggilan pengadilan meskipun telah dipanggil secara resmi. Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa absennya disebabkan oleh tugas legislatif yang sedang dijalani.
Kelompok masyarakat sipil setempat mengeksikan sikap tersebut sebagai indikasi kurangnya komitmen terhadap proses hukum, terutama dalam kasus yang melibatkan dana publik senilai puluhan miliar rupiah. Mereka menilai bahwa mangkir berulang tanpa alasan yang memadai dapat diartikan sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab, yang berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.
Seorang pengurus organisasi kemasyarakatan lokal, Tukino Muhadi, menyatakan bahwa penegak hukum harus tegas dalam menangani kasus ini, tanpa memandang status atau jabatan seseorang. “Sudah dua kali dipanggil secara sah dan tidak hadir, ini bukan sekadar kelalaian, melainkan sikap yang menantang supremasi hukum. Kasus korupsi seperti ini tidak boleh dikompromikan, karena melibatkan uang rakyat,” ungkapnya.

Organisasi tersebut mendesak Kejaksaan Negeri Karanganyar dan majelis hakim untuk segera menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara ketat, termasuk penerbitan perintah pemanggilan paksa jika diperlukan. Mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hakim berwenang memerintahkan penghadiran paksa terhadap saksi yang mangkir dua kali tanpa alasan sah. Pembiaran terhadap perilaku tidak kooperatif semacam ini, menurut mereka, berisiko menciptakan preseden negatif dan memperkuat persepsi bahwa penegakan hukum masih diskriminatif berdasarkan status sosial.
Lebih lanjut, kelompok ini menyoroti potensi sanksi pidana bagi saksi yang sengaja menghindari kewajiban, sebagaimana diatur dalam Pasal 224 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengancam pidana penjara bagi pihak yang tidak memenuhi panggilan sebagai saksi.
Kasus ini semakin sensitif karena adanya tuduhan aliran dana mencapai miliaran rupiah yang diduga mengalir ke Juliyatmono selama masa jabatannya sebagai bupati periode 2013–2023. Fakta tersebut, menurut masyarakat sipil, menjadi sinyal kuat bagi jaksa dan hakim untuk bertindak lebih proaktif. “Dengan adanya indikasi aliran dana dan sikap tidak kooperatif, publik berhak menuntut transparansi penuh. Status saksi bisa saja berubah jika bukti mengarah ke sana,” tambah Tukino Muhadi.
Baca juga : Penghentian Penyidikan terhadap Mantan Ketua DPRD Jatim dalam Kasus Dugaan Korupsi Dana Hibah Pokmas
Perkara dugaan korupsi pembangunan Masjid Agung Madaniyah, yang menelan anggaran sekitar Rp78,9 miliar, telah menyeret beberapa terdakwa dari kalangan swasta dan pejabat daerah. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp10,1 miliar berdasarkan audit resmi. Masyarakat sipil menekankan bahwa proyek rumah ibadah yang dibiayai dana publik ini harus menjadi prioritas dalam penegakan keadilan, tanpa ada ruang untuk perlakuan khusus.
Kasus ini dianggap sebagai tes integritas bagi aparat penegak hukum di tingkat lokal. Kelemahan dalam penanganan dikhawatirkan akan memperburuk citra bahwa hukum masih “tajam ke bawah, tumpul ke atas”. “Keadilan harus ditegakkan secara merata, terutama untuk proyek yang bersumber dari uang rakyat,” tutup Tukino Muhadi.
Pewarta: Nandang Bramantyo

