
RI News Portal. Semarang, 11 Agustus 2025 — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas menolak nota pembelaan (pledoi) yang diajukan oleh dua terdakwa kasus dugaan korupsi Pemerintah Kota Semarang: mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu (Mbak Ita), dan suaminya, Alwin Basri. Penolakan tersebut disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Amir Nurdianto, dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Senin (11/8).
Dalam replik setebal 36 halaman, JPU menyatakan bahwa kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Amir menegaskan bahwa sebagai penyelenggara negara, Ita dan Alwin seharusnya menjadi teladan dalam pemberantasan korupsi, bukan justru terlibat di dalamnya.

Tiga dakwaan utama yang kembali ditegaskan oleh JPU meliputi:
No | Dakwaan | Rincian Kasus |
---|---|---|
1 | Pengaturan Proyek PL Kecamatan 2023 | Dugaan intervensi dalam penunjukan langsung proyek tingkat kecamatan |
2 | Pengadaan Meja Kursi SD 2023 | Dugaan pengaturan pengadaan barang di Dinas Pendidikan Kota Semarang |
3 | Suap di Bapenda Kota Semarang | Dugaan penerimaan uang dari Kepala Bapenda, Indriyasari |
Total dugaan penerimaan uang oleh kedua terdakwa mencapai Rp1,7 miliar, yang berasal dari Direktur Utama PT Deka Sari, Rachmat Utama Djangkar, dan Kepala Bapenda Kota Semarang.
“Kami tetap pada surat tuntutan yang dibacakan pada Rabu, 30 Juli 2025, dan memohon kepada Ketua Majelis Hakim agar menjatuhkan putusan sesuai tuntutan pidana,” ujar Amir.
Baca juga : Indonesia–Peru Sepakat Perkuat Kerja Sama Pemberantasan Narkotika dan Perdagangan Ilegal
Menanggapi replik tersebut, kuasa hukum Ita, Ratna Ningsih, menyatakan akan mengajukan duplik sebagai jawaban atas replik KPK. Ia menegaskan bahwa pledoi yang telah disampaikan sebelumnya akan diperkuat dengan bukti tambahan.
“Kami akan memperkuat apa yang disampaikan dalam pledoi bahwa kedua terdakwa tidak melakukan dakwaan yang disampaikan JPU,” ucap Ratna.
Majelis Hakim yang diketuai Gatot Sarwadi memberikan tenggat waktu lima hari kepada pihak terdakwa untuk menyampaikan duplik. Sidang lanjutan dijadwalkan pada Jumat, 15 Agustus 2025.

Kasus ini menyoroti persoalan integritas pejabat publik dalam pengelolaan anggaran daerah. Dugaan keterlibatan kepala daerah dan keluarganya dalam pengaturan proyek serta penerimaan suap menunjukkan celah dalam sistem pengawasan internal pemerintah daerah. Secara regulatif, pelanggaran ini mengacu pada:
- Pasal 12 huruf a dan b UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
- Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana.
Jika terbukti bersalah, kedua terdakwa berpotensi menghadapi hukuman pidana berat, termasuk pencabutan hak politik dan pengembalian kerugian negara.
Pewarta : Sriyanto
