
RI News Portal. Jakarta, 4 September 2025 – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengeluarkan pernyataan tegas terkait maraknya keterlibatan anak-anak dalam aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan di Jakarta dan sejumlah daerah lainnya, seperti Surabaya, Kediri, Pekalongan, dan Tegal. KPAI menilai praktik mobilisasi anak dalam aksi anarkis dan tindak kriminal, termasuk penjarahan, merupakan bentuk eksploitasi yang melanggar hak-hak anak.
Komisioner KPAI, Sylvana Maria Apituley, menegaskan bahwa kebebasan anak untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, dan berserikat dijamin oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Namun, kebebasan tersebut harus mempertimbangkan kesiapan mental, perkembangan usia, dan keselamatan anak. “Keterlibatan anak dalam unjuk rasa tanpa edukasi yang memadai bukanlah partisipasi, melainkan eksploitasi politik yang jelas-jelas bertentangan dengan hak anak,” ujar Sylvana dalam konferensi pers pada Rabu (3/9/2025).
KPAI mencatat laporan dari aparat kepolisian yang menemukan anak-anak dipersenjatai petasan hingga bom molotov selama kerusuhan terjadi. Lebih memprihatinkan, sejumlah anak juga terlibat dalam aksi penjarahan di berbagai wilayah. “Ini adalah situasi darurat yang harus segera dihentikan. Keterlibatan anak dalam tindakan kriminal seperti ini menunjukkan adanya kegagalan sistemik dalam melindungi mereka,” kata Sylvana.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga meluas ke daerah lain seperti Surabaya, Kediri, Pekalongan, dan Tegal. KPAI menyoroti perlunya tindakan cepat untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
KPAI mendesak Polri untuk menangani anak-anak yang terlibat dalam kerusuhan dengan pendekatan profesional, persuasif, dan humanis, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. “Proses pemeriksaan anak tidak boleh melibatkan kekerasan, baik fisik maupun verbal. Pemeriksaan harus selesai dalam 24 jam dan dilakukan di tempat yang terpisah dari tahanan dewasa,” tegas Sylvana.
Selain itu, KPAI meminta kepolisian untuk segera mengusut pihak-pihak yang memprovokasi dan memobilisasi anak-anak dalam aksi kerusuhan. “Penegakan hukum harus transparan, adil, dan tuntas. Kami ingin pelaku di balik mobilisasi ini diungkap,” tambahnya.
Baca juga : Soliditas TNI-Polri: Fondasi NKRI yang Harus Dijaga
KPAI juga menyerukan peran aktif orang tua, sekolah, dan masyarakat untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang bahaya terlibat dalam aksi berisiko tinggi, seperti kerusuhan dan penjarahan. Edukasi tentang hak dan tanggung jawab anak menjadi kunci untuk mencegah eksploitasi serupa di masa depan.
Sylvana mengapresiasi inisiatif sejumlah orang tua yang secara sukarela mengembalikan barang hasil penjarahan yang dilakukan anak-anak mereka. “Tindakan ini adalah teladan penting. Mengembalikan barang yang bukan haknya mengajarkan anak-anak tentang kejujuran dan tanggung jawab,” ungkapnya.
KPAI menekankan pentingnya langkah pencegahan sistemik untuk memastikan anak-anak terlindungi dari eksploitasi politik dan tindakan berbahaya. Selain penegakan hukum terhadap provokator, KPAI mendorong pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung perkembangan anak.
“Kami berharap kasus ini menjadi titik balik untuk memperkuat perlindungan anak di Indonesia. Anak-anak adalah masa depan bangsa, dan mereka berhak tumbuh dalam lingkungan yang aman dan bebas dari eksploitasi,” tutup Sylvana.
Pewarta : Nandang Bramantyo
