
RI News Portal. Subulussalam, 13 Oktober 2025 – Di tengah upaya pemerintah daerah untuk menjaga stabilitas birokrasi desa, praktik pengangkatan guru sebagai Penjabat (Pj) Kepala Desa di Kota Subulussalam, Aceh, kini menjadi pusat perdebatan sengit. Setidaknya 12 guru, termasuk dua orang yang masih menjabat sebagai kepala sekolah, ditugaskan menangani urusan administratif desa di berbagai kecamatan. Fenomena ini, meskipun diketahui sejak lama oleh pihak berwenang, kian memicu keresahan masyarakat yang khawatir akan dampak jangka panjang terhadap kualitas pendidikan di wilayah pedesaan.
Kasus ini mencuat setelah Tim Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Subulussalam menyampaikan rekomendasi tegas dalam rapat paripurna pada Selasa, 23 September 2025, di Gedung DPRK setempat. Rapat tersebut membahas realisasi fisik dan keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2025. Dalam laporannya, Pansus menyoroti pengangkatan Pj Kepala Desa dari kalangan guru sebagai salah satu isu krusial yang berpotensi mengganggu tugas utama pendidik. “Ini bukan sekadar rangkap jabatan administratif, tapi ancaman nyata terhadap komitmen negara untuk pendidikan merata,” ujar salah seorang anggota Pansus yang enggan disebut namanya, menekankan bahwa rekomendasi tersebut mendesak Wali Kota Subulussalam untuk segera mengkaji ulang kebijakan serupa.

Subulussalam, sebagai kota kecil di Provinsi Aceh dengan populasi sekitar 100.000 jiwa, bergantung pada sektor pendidikan dasar sebagai pilar utama pembangunan sumber daya manusia. Namun, dengan 12 guru yang kini terbagi di kecamatan-kecamatan seperti Penanggalan, Rundeng, Longkip, dan Sultan Daulat, kekhawatiran muncul bahwa siswa di sekolah-sekolah negeri akan kehilangan fokus pengajaran. Dua di antaranya bahkan masih aktif sebagai kepala sekolah, yang seharusnya bertanggung jawab penuh atas manajemen institusi pendidikan. Masyarakat setempat, termasuk orang tua siswa, mulai menyuarakan ketidakpuasan melalui forum-forum online dan pertemuan komunitas, menyebut praktik ini sebagai “pemborosan tenaga pendidik di tengah krisis guru honorer.”
Data internal dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Subulussalam mengonfirmasi skala masalah ini. Pada awal Oktober 2025, Kepala Disdikbud Nasrul Padang, melalui Kepala Bidang Pendidikan Dasar Sahrul Harahap, mengakui bahwa setidaknya 12 guru telah ditugaskan sebagai Pj Kepala Desa sejak awal tahun. “Kami sadar ini menjadi beban ganda, tapi pengangkatan ini bagian dari kebutuhan darurat untuk mengisi kekosongan jabatan desa pasca-masa jabatan kepala desa sebelumnya berakhir,” kata Sahrul Harahap saat ditemui tim redaksi di kantor Disdikbud. Meski demikian, ia menambahkan bahwa dinas sedang memantau dampaknya, termasuk penurunan produktivitas mengajar di tingkat SD dan SMP.
Daftar guru yang terlibat mencakup nama-nama seperti Hakimin S.Pd, Taslimah S.Pd, Saimi Cuna S.Pd, Abu Talhah S.Pd SD, Asron S.PdI, Hanafi S.PdI, Mawardi S.PdI, Agustari Husni S.PdI, Ismail, Idris A.MA.Pd, Eko Wahyudi S.Pd, dan M. Yasin S.PdI. Mereka tersebar di desa-desa pinggiran, di mana tugas sebagai Pj Kepala Desa meliputi pengelolaan anggaran desa, pelayanan publik, hingga koordinasi program pemberdayaan masyarakat—semua yang menuntut waktu penuh dan sering kali bertabrakan dengan jadwal mengajar.
Baca juga : Inovasi Pendanaan Kreatif: Pos Pemadam Kebakaran Baru di Kebayoran Lama
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 71 ayat (1) huruf c, kepala desa dan perangkat desa dilarang merangkap jabatan dengan posisi lain yang ditentukan perundang-undangan, termasuk sebagai aparatur sipil negara seperti guru. Ketentuan ini diperkuat oleh Surat Edaran Badan Kepegawaian Negeri (BKN) Nomor 4/SE/XI/2019, yang secara eksplisit menyatakan bahwa PNS yang diangkat sebagai kepala desa atau perangkat desa harus memilih satu jabatan saja untuk menghindari konflik kepentingan dan penerimaan gaji ganda dari dana negara. Di tingkat daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa juga menegaskan larangan rangkap jabatan, dengan sanksi administratif hingga pidana jika terbukti melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akibat penghasilan berganda.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Wais Alqarni, menilai kasus di Subulussalam sebagai cerminan lemahnya pengawasan birokrasi lokal. “Pengangkatan guru sebagai Pj Kepala Desa mungkin dimaksudkan sebagai solusi sementara, tapi tanpa evaluasi ketat, ini justru merusak fondasi pendidikan. Bayangkan, seorang kepala sekolah yang seharusnya membimbing guru lain malah sibuk dengan rapat desa—dampaknya bisa berupa penurunan prestasi siswa dan ketidakadilan bagi guru pengganti yang overload,” tegasnya dalam wawancara eksklusif dengan redaksi. Alqarni merekomendasikan agar Wali Kota menerapkan mekanisme rotasi jabatan sementara dari kalangan non-pendidik, seperti pensiunan PNS atau tenaga ahli desa, untuk menjaga keseimbangan.
Hingga kini, Wali Kota Subulussalam belum merespons secara resmi rekomendasi Pansus DPRK. Namun, sumber di lingkungan pemkot mengindikasikan bahwa kajian ulang kebijakan sedang dirancang, termasuk audit internal terhadap kinerja guru yang merangkap. Sementara itu, LSM lokal seperti Forum Peduli Pendidikan Aceh (FPPA) telah menggelar diskusi daring pada 10 Oktober 2025, di mana ratusan warga menuntut transparansi daftar lengkap Pj Kepala Desa dan timeline evaluasi. “Kami tidak menyalahkan individu guru, tapi sistem yang membiarkan ini terjadi. Pendidikan adalah hak anak, bukan korban birokrasi darurat,” demikian seruan koordinator FPPA, Cut Nuraini.

Kasus ini bukan yang pertama di Aceh. Pada Mei 2025, di Nagan Raya, seorang kepala desa yang merangkap PPPK di RSUD setempat dipaksa memilih jabatan setelah sorotan media, sesuai Surat BKN Nomor 2302/B-KB.01.01/SD/J/2025. Di Aceh Tenggara, LSM Tipikor bahkan mendesak pembatalan kelulusan P3K bagi kepala desa yang melanggar aturan serupa. Tren ini menunjukkan urgensi reformasi di tingkat provinsi, di mana Aceh—dengan otonomi khususnya—dapat mengadopsi model pengangkatan Pj dari kalangan non-guru untuk menghindari eskalasi konflik.
Sebagai penutup, perdebatan di Subulussalam ini mengingatkan kita pada esensi pemerintahan desa: melayani, bukan membebani. Jika tidak segera dievaluasi, rangkap jabatan ini berpotensi menjadi bom waktu bagi generasi muda Aceh, di mana pendidikan seharusnya menjadi prioritas utama, bukan sekadar pengisi kekosongan administratif.
Pewarta : Jaulim Saran
