
RI News Portal. Liwa, Lampung Barat 7 Oktober 2025 – Dalam konteks pemerintahan desa yang ideal, kantor kepala desa atau balai pekon berfungsi sebagai pusat pengaduan masyarakat sekaligus fasilitas utama untuk layanan administrasi surat-menyurat, termasuk dokumen pendukung pekerjaan yang diwajibkan oleh regulasi pemerintah. Namun, realitas di Pekon Cipta Waras, Kecamatan Gedung Surian, Kabupaten Lampung Barat, justru menunjukkan gambar sebaliknya. Pantauan langsung tim redaksi pada Selasa (7/10/2025) mengungkap bahwa balai pekon tutup rapat pada jam kerja, meninggalkan kesan pelayanan publik yang terabaikan dan oknum peratin (kepala desa) yang sering absen. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan dugaan “makan gaji buta” tetapi juga mencerminkan ketidakdisiplinan aparatur desa yang berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan terdekat.
Pagi itu, sekitar pukul 10.12 WIB, balai pekon yang seharusnya ramai dengan aktivitas pelayanan justru sepi seperti rumah kosong. Tidak ada petugas yang terlihat, pintu terkunci, dan tidak ada tanda-tanda kegiatan administratif. “Bagaimana mau melayani masyarakat jika kantor desa saja tutup seperti rumah hantu? Ini baru jam 10 pagi, seharusnya mereka standby melayani kebutuhan warga,” keluh seorang warga setempat yang enggan disebut namanya, menggambarkan kekecewaan kolektif masyarakat terhadap perilaku oknum peratin dan perangkatnya yang terkesan asal-asalan. Absensi ini bukan kasus sporadis; pantauan tim redaksi menunjukkan pola serupa yang sering terjadi, membuat warga kesulitan mengurus surat keterangan domisili, pengaduan tanah, atau dokumen kerja lainnya.

Dugaan ketidakhadiran ini melanggar ketentuan dasar pelayanan publik. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2019 tentang perubahan atas pelaksanaan Undang-Undang Desa, penghasilan tetap peratin setara dengan 120% gaji pokok PNS golongan II/A, atau minimal Rp2.426.640 per bulan, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Uang negara ini seharusnya mendorong disiplin, bukan kelalaian. Lebih lanjut, Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 mengatur hari kerja di lingkungan pemerintahan dengan pola lima hari seminggu: Senin hingga Kamis dari pukul 07.30 hingga 16.00 WIB (istirahat 12.00-13.00 WIB), serta Jumat hingga 16.30 WIB (istirahat 11.30 WIB). Oknum peratin yang diduga mengabaikan aturan ini tidak hanya gagal memenuhi kewajiban sebagai pelayan masyarakat, tapi juga berisiko mencontohkan budaya malas yang merembet ke perangkat desa lainnya.
Kasus ini semakin memprihatinkan di tengah maraknya praktik korupsi di tingkat desa Lampung Barat. Beberapa mantan peratin di wilayah tetangga seperti Pekon Tanjung Kemala, Kecamatan Bangkunat, Pesisir Barat, baru saja ditetapkan tersangka korupsi dana desa senilai Rp526 juta melalui kegiatan fiktif pada 2021-2022. Sementara itu, eks peratin Pekon Sukananti, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat, diciduk setelah lima tahun buron atas penyalahgunaan dana desa Rp261,7 juta. Tren ini menggarisbawahi urgensi pengawasan ketat; jika ketidakdisiplinan seperti di Cipta Waras dibiarkan, berpotensi membuka pintu lebar bagi penyimpangan keuangan yang lebih besar, merusak fondasi pembangunan desa dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan lokal.
Baca juga : Sengketa Lahan Maumbi Memanas: Jalan SBY Ditutup, Kebenaran Dicari
Masyarakat Pekon Cipta Waras menyatakan kekecewaan mendalam, melihat perilaku oknum peratin sebagai pengkhianatan terhadap amanah. “Mereka seenaknya kerja, padahal gaji sudah setara PNS. Ini bisa jadi cermin buruk bagi pimpinan desa; kalau semua seperti ini, jabatan enam tahun saja sudah terlalu lama,” ujar seorang tokoh masyarakat. Hingga berita ini diturunkan, upaya konfirmasi ke peratin gagal karena nomor telepon jarang aktif dan balai tetap kosong, menambah dugaan ketidaktransparanan.
Tim redaksi mendesak pihak berwenang, termasuk inspektorat kabupaten dan aparat penegak hukum, untuk segera menindak oknum peratin Pekon Cipta Waras atas dugaan kelalaian ini. Tindakan tegas diperlukan guna mencegah eskalasi menjadi kasus korupsi yang lebih parah, memastikan pelayanan desa tetap menjadi prioritas utama bagi kesejahteraan warga. Tanpa reformasi disiplin, pemerintahan desa berisiko menjadi titik lemah dalam sistem birokrasi nasional, di mana korupsi dan malas-malasan justru mendominasi narasi.
Pewarta : IF
