
RI News Portal. Sekadau, Kalimantan Barat – Proyek peningkatan jalan negara yang menghubungkan Kabupaten Sanggau dan Sekadau, khususnya di wilayah Semuntai, kini menjadi pusat perhatian masyarakat setempat akibat kerusakan prematur yang terjadi hanya dalam waktu sekitar satu tahun pasca-penyelesaian. Jalan yang dirancang untuk meningkatkan konektivitas regional ini mengalami penurunan badan jalan secara signifikan, menyebabkan permukaan bergelombang dan berlubang di beberapa titik, yang berpotensi memicu kecelakaan lalu lintas bagi pengendara, terutama mereka yang menggunakan kendaraan roda dua.
Dalam konteks pembangunan infrastruktur di Kalimantan Barat, proyek ini seharusnya menjadi contoh keberhasilan program pemerintah dalam memperkuat akses transportasi antar-kabupaten. Namun, kondisi saat ini menunjukkan gejala kegagalan struktural dini, di mana jalan terasa seperti “gelombang tsunami” saat dilalui, sebagaimana dirasakan oleh tim investigasi independen dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memantau langsung. Fenomena ini tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga menimbulkan risiko keselamatan bagi ribuan pengguna jalan harian, termasuk petani dan pedagang yang bergantung pada rute ini untuk distribusi barang.
Dugaan utama yang muncul dari pengamatan lapangan adalah penggunaan material timbunan yang tidak memenuhi standar teknis. Secara spesifik, timbunan tanah yang digunakan diduga tidak sesuai dengan struktur geologi lokal, yang seharusnya menjadi prasyarat mutlak dalam perencanaan proyek infrastruktur sipil. Standar nasional, seperti yang diatur dalam Pedoman Teknis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), menekankan bahwa timbunan harus memiliki komposisi yang stabil untuk mencegah penurunan akibat beban lalu lintas dan faktor lingkungan seperti curah hujan tinggi di wilayah tropis seperti Kalbar. Ketidaksesuaian ini diperkuat oleh adanya beberapa titik kerusakan tambahan, seperti retakan dan lubang yang mulai muncul di ruas-ruas lain, menandakan potensi masalah sistemik dalam pelaksanaan proyek secara keseluruhan.

Dampak dari kerusakan ini melampaui aspek teknis, menyentuh dimensi sosial-ekonomi masyarakat sekitar. Di Sekadau Hilir dan sekitarnya, jalan rusak telah menghambat mobilitas, meningkatkan biaya transportasi, dan bahkan memperlambat distribusi barang kebutuhan pokok. Warga setempat, termasuk komunitas pedesaan, sering kali terpaksa mengambil rute alternatif yang lebih panjang, yang pada gilirannya memengaruhi produktivitas ekonomi regional. Dalam perspektif akademis, kasus ini mengilustrasikan tantangan klasik dalam manajemen proyek publik di Indonesia: ketidakcermatan dalam pengawasan kontraktor dan kurangnya integrasi data geoteknik dalam tahap desain.
Baca juga : Longsor Dahsyat Way Robok: Ancaman Ekologis di Balik Kerapuhan Infrastruktur Lampung Barat
Pihak berwenang, termasuk Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Wilayah Kalbar, diharapkan segera melakukan investigasi mendalam untuk memverifikasi dugaan ini. Respons cepat tidak hanya diperlukan untuk perbaikan darurat, tetapi juga untuk mencegah preseden buruk dalam proyek infrastruktur masa depan. Masyarakat dan LSM terus mendesak transparansi, dengan harapan bahwa temuan ini dapat menjadi bahan evaluasi kebijakan nasional dalam pembangunan jalan berkelanjutan. Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari kontraktor atau instansi terkait mengenai langkah remediasi yang akan diambil.
Pewarta : Lisa Susanti
