
RI News Portal. Wonogiri — Petani padi di sejumlah wilayah Kabupaten Wonogiri tengah menikmati lonjakan harga gabah yang signifikan, mencapai Rp7.000 hingga Rp7.500 per kilogram di tingkat petani. Kenaikan ini dinilai sebagai peluang keuntungan yang jarang terjadi, khususnya dalam konteks pertanian skala kecil yang kerap tertekan oleh fluktuasi harga dan ancaman gagal panen. Salah satu faktor utama yang mendorong tren positif ini adalah kebijakan pemerintah melalui penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) sebesar Rp6.500/kg sejak awal tahun 2025.
Dalam wawancara lapangan yang dilakukan RI News pada Sabtu (2/8/2025), Karmo, seorang petani di Desa Ngelo, Kecamatan Jatiroto, menjelaskan bahwa harga GKP saat ini mencapai Rp7.500/kg — meningkat lebih dari 15% dibandingkan panen pada musim tanam pertama tahun ini. Menurutnya, keberadaan HPP menjadi titik balik penting yang memaksa pasar, terutama para tengkulak, untuk menaikkan harga beli agar tidak kalah bersaing dengan Bulog.
“Biasanya kalau Bulog tidak beli sesuai HPP, harga gabah bisa jatuh di bawah Rp5.000. Tapi sekarang malah tengkulak yang berebut beli karena harus di atas harga Bulog,” kata Karmo.

Kebijakan HPP tidak hanya menjadi instrumen stabilisasi harga, tetapi juga menciptakan ruang negosiasi yang lebih adil bagi petani dalam rantai distribusi hasil panen. Dalam praktiknya, harga acuan ini memberi tekanan pasar terhadap tengkulak agar menaikkan harga beli langsung kepada petani, terutama di wilayah dengan distribusi Bulog yang kurang masif.
Namun, lonjakan harga ini tidak datang tanpa tantangan. Serangan hama wereng dan tikus dilaporkan meluas di beberapa wilayah Kabupaten Wonogiri pada musim tanam kedua. Meski begitu, di Desa Ngelo, dampaknya masih bisa ditekan berkat pola tanam serentak dan kegiatan penyemprotan hama secara kolektif. Mitigasi dini ini membuat hasil panen tetap relatif stabil di angka 6–7 ton per hektare, meski belum mencapai potensi maksimal sebesar 8–9 ton/hektare.
“Kami memang terdampak wereng, tapi tidak separah di tempat lain. Karena tanam serentak dan semprot massal, jadi masih bisa panen lumayan,” imbuh Karmo.
Sementara itu, dari wilayah lain di Kabupaten Wonogiri, Totok, petani asal Desa Tanggulangin, Kecamatan Jatisrono, turut mengonfirmasi bahwa panen padi bulan ini cukup menguntungkan. Ia menyebut bahwa ketersediaan pupuk bersubsidi juga menjadi faktor pendukung kelancaran produksi. Tidak ada hambatan distribusi pupuk dari kios pupuk lengkap (KPL), sehingga proses perawatan tanaman selama empat bulan berjalan optimal.
Dari segi kalkulasi ekonomi, Totok memperkirakan biaya produksi per hektare pada musim tanam kedua berkisar Rp4 juta. Dengan rata-rata hasil panen sebesar tujuh ton dan harga gabah Rp7.000/kg, petani dapat menghasilkan omzet kotor sekitar Rp49 juta/hektare. Setelah dikurangi biaya operasional, termasuk upah buruh dan input produksi, margin keuntungan tetap dinilai cukup memuaskan bagi petani kecil.
“Harga gabah saat ini sangat menguntungkan. Selain itu, pupuk subsidi lancar dan mudah didapat. Jadi kami tidak kesulitan dalam perawatan,” jelas Totok.
Fenomena harga gabah tinggi di Wonogiri menunjukkan bahwa kebijakan intervensi pasar melalui HPP dapat menjadi alat stabilisasi sekaligus insentif ekonomi bagi petani. Namun, keberhasilan ini masih sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal seperti iklim, serangan hama, dan ketahanan produksi lokal.
Ke depan, tantangan yang perlu dikaji lebih lanjut adalah keberlanjutan kebijakan HPP dalam jangka panjang, kapasitas Bulog untuk menyerap gabah secara efektif, serta potensi pembangunan sistem tata niaga gabah yang lebih inklusif dan transparan. Pemerintah daerah dan pusat perlu memastikan bahwa kebijakan seperti ini tidak hanya bersifat sesaat, tetapi juga mampu memperkuat posisi tawar petani dalam rantai nilai pertanian nasional.
Pewarta : Nandar Suyadi
