
RI News Portal. Jakarta, 18 Oktober 2025 – Dalam upaya meratakan mutu pendidikan tinggi nasional, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) meluncurkan Program Beasiswa Pra-Doktoral bagi Perguruan Tinggi Terdepan, Terluar, Tertinggal (PT3T) dan Daerah Afirmasi Tahun 2025. Inisiatif baru ini tidak hanya membuka akses studi lanjutan bagi dosen muda dari wilayah terpencil, tetapi juga mengintegrasikan pelatihan kepemimpinan dan adaptasi sosial-budaya, menjadikannya model holistik yang belum pernah diterapkan sebelumnya di ranah pendidikan tinggi Indonesia.
“Program ini kami jemput bola langsung ke PT3T untuk meningkatkan kualifikasi dosen secara masif,” ungkap Direktur Sumber Daya Kemdiktisaintek, Sri Suning Kusumawardani, dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu lalu. Berbeda dengan skema beasiswa konvensional yang berfokus semata pada aspek akademik, program ini menekankan kesiapan holistik: dari penyusunan proposal riset hingga kemampuan memimpin transformasi sosial-ekonomi di daerah asal.
Tahun ini, beasiswa pra-doktoral difokuskan pada bidang sains dasar dan teknik—dua pilar krusial bagi inovasi industri 4.0. Sebanyak 40 dosen terpilih dari 20 perguruan tinggi di 13 provinsi afirmasi menjalani pelatihan intensif selama satu semester. Struktur programnya unik: dua bulan daring untuk fondasi teori, diikuti dua bulan luring di tiga perguruan tinggi mitra unggulan, yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Peserta tidak hanya diajarkan merancang proposal doktoral yang “terkoneksi langsung” dengan program S3, tetapi juga dilatih dalam kepemimpinan riset dan adaptasi budaya. “Kami ingin dosen ini bukan sekadar lulusan doktoral, tapi agen perubahan yang mampu menggerakkan PT3T menjadi motor pembangunan lokal,” tegas Suning. Seleksi ketat ini memastikan hanya kandidat berpotensi tinggi yang terlibat, dengan penilaian mencakup portofolio riset dan komitmen sosial.
Program ini lahir dari data Kemdiktisaintek yang menunjukkan disparitas mencolok: hanya 15% dosen di PT3T memiliki gelar doktoral, dibandingkan 45% di perguruan tinggi metropolitan. Dengan menargetkan daerah afirmasi seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur, inisiatif ini menjadi jembatan vital menuju visi Indonesia Emas 2045—di mana setiap provinsi berkontribusi pada ekonomi berbasis pengetahuan.
Lebih dari sekadar beasiswa, program ini mendorong PT3T bertransformasi menjadi pusat riset lokal. Misalnya, dosen dari Universitas Pattimura (Maluku) kini merancang proposal tentang bioenergi laut, yang potensial merevitalisasi ekonomi kepulauan. “Ini bukan hibah sementara, tapi investasi berkelanjutan untuk kesetaraan pendidikan,” kata Suning, menambahkan bahwa peserta diwajibkan kembali mengajar minimal lima tahun pasca-doktoral.
Para ahli akademik menyambut baik inovasi ini. Prof. Dr. Budi Santoso dari UGM menyebutnya “pendekatan terintegrasi pertama yang menggabungkan akademik dengan soft skills kepemimpinan, jauh melampaui model beasiswa tradisional.” Sementara itu, Dr. Rina Wijaya, pakar pendidikan afirmasi dari ITB, memprediksi program serupa bisa direplikasi untuk bidang humaniora tahun depan, mempercepat peningkatan indeks daya saing daerah hingga 30% dalam dekade mendatang.

Dengan 40 pionir ini sebagai garda terdepan, Kemdiktisaintek optimistis program akan ekspansi nasional pada 2026, memastikan tak ada lagi “keterbelakangan akademik” di tanah air. Bagi dosen muda 3T, ini adalah panggilan: saatnya merancang masa depan Indonesia dari garis terdepan.
Pewarta : Albertus Parikesit
