RI News Portal. Jakarta 3 Oktober 2025 – Dalam perkembangan terbaru perang Ukraina-Rusia, keinginan Pemerintahan Presiden Donald Trump untuk memasok rudal jelajah jarak jauh Tomahawk ke Kyiv tampaknya menghadapi hambatan signifikan akibat keterbatasan persediaan milik Angkatan Laut Amerika Serikat (AS). Seorang pejabat AS dan tiga sumber yang mengetahui pelatihan serta distribusi rudal tersebut menyatakan bahwa stok saat ini telah dialokasikan sepenuhnya untuk kebutuhan operasional militer AS, termasuk misi di wilayah konflik lain seperti Laut Merah. Rudal Tomahawk, dengan jangkauan hingga 2.500 kilometer, sering dimanfaatkan untuk serangan presisi terhadap target darat, tetapi pejabat tersebut menegaskan tidak ada kekurangan senjata utama ini secara keseluruhan—hanya prioritas alokasi yang membuat pengiriman ke Ukraina tidak realistis.
Pernyataan Wakil Presiden JD Vance pada akhir pekan lalu menimbulkan spekulasi luas, di mana ia mengonfirmasi bahwa Washington sedang mengevaluasi permintaan Ukraina untuk rudal ini, yang berpotensi menimbulkan gangguan besar di wilayah Rusia, termasuk ibu kota Moskow. Namun, sumber-sumber internal mempertanyakan kelayakan teknis dan logistik, menyarankan alternatif seperti senjata jarak pendek atau memungkinkan sekutu Eropa membeli rudal jarak jauh lain untuk diteruskan ke Kyiv. “Tomahawk sepertinya tidak akan terjadi,” kata pejabat AS, meskipun AS terbuka terhadap mekanisme pembelian melalui mitra NATO.

Dokumen anggaran Pentagon mengungkapkan bahwa Angkatan Laut AS, sebagai pengguna utama, telah mengakuisisi 8.959 rudal Tomahawk dengan harga rata-rata 1,3 juta dolar AS per unit. Meskipun produksi berlanjut, tingkat pengadaan tahunan yang rendah—seperti hanya 22 unit yang direncanakan untuk tahun fiskal 2025—menunjukkan tantangan dalam menjaga stok di tengah penggunaan intensif di berbagai teater operasi. Pengiriman ke Ukraina berisiko mengurangi kemampuan respons AS terhadap ancaman global, termasuk potensi konflik di Indo-Pasifik atau Timur Tengah.
Perubahan sikap Trump terhadap konflik Ukraina dalam beberapa pekan terakhir menjadi konteks penting. Awalnya skeptis, presiden kini mengisyaratkan bahwa Kyiv bisa merebut kembali seluruh wilayah yang diduduki Rusia, menyebut militer Rusia sebagai “harimau kertas” yang gagal mencapai tujuan strategisnya. Retorika ini mencerminkan frustrasi atas kegagalan negosiasi damai, di mana Trump sebelumnya menjanjikan penyelesaian cepat namun kini mendorong dukungan Eropa yang lebih besar. Salah satu manifestasi konkret adalah keputusan AS untuk berbagi intelijen dengan Ukraina mengenai target infrastruktur energi Rusia jarak jauh, seperti kilang minyak dan pipa gas, yang bertujuan melemahkan pendanaan perang Moskow melalui ekspor energi.
Baca juga : Bali Gubernur dan Wamen Bahas Solusi Perumahan dan Mitigasi Bencana Pasca-Banjir
Langkah intelijen ini, yang disetujui Trump baru-baru ini, memungkinkan Ukraina menargetkan aset strategis yang saat ini berada di luar jangkauan rudal konvensionalnya, termasuk pangkalan militer, pusat logistik, dan bandara. Meskipun Kremlinus menyatakan bahwa dukungan semacam ini sudah rutin dari NATO, Moskow memperingatkan eskalasi jika Tomahawk disetujui, dengan juru bicara Dmitry Peskov menyebutnya sebagai “ronde ketegangan baru” yang memerlukan respons “yang sesuai.” Rusia, yang mengandalkan ekspor energi sebagai sumber utama pendanaan militer, telah merespons dengan serangan balik terhadap infrastruktur Ukraina, memperburuk siklus balas dendam.
Secara strategis, pasokan Tomahawk bisa merevolusi kemampuan Ukraina dengan memungkinkan serangan presisi ke kedalaman Rusia, tetapi risiko geopolitiknya tinggi. Analis menilai bahwa prioritas AS untuk menjaga stok rudal bagi keamanan nasionalnya sendiri lebih mendominasi, sementara opsi melalui sekutu Eropa—seperti program Prioritized Ukraine Requirements List (PURL)—bisa menjadi jalan tengah tanpa menguras persediaan langsung. Trump, yang sempat menolak permintaan serupa di masa lalu, kini tampak mendorong tekanan ekonomi terhadap Rusia melalui sanksi tambahan terhadap pembeli minyak seperti India dan Turki.
Sementara itu, Ukraina terus mengembangkan rudal domestik seperti Flamingo, meskipun produksinya terbatas. Keputusan akhir Trump mengenai Tomahawk tetap menjadi ujian bagi komitmen “America First” versus dukungan sekutu, di tengah kekhawatiran eskalasi yang bisa menyeret NATO lebih dalam ke konflik. Pengamat internasional menunggu langkah selanjutnya, yang berpotensi mengubah dinamika perang yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun ini.
Pewarta : Setiawan Wibisono

