
RI News Portal. Padangsidimpuan, 1 Oktober 2025 – Dalam dinamika pembangunan kota yang semakin bergantung pada investasi swasta, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Padangsidimpuan tahun 2025-2045 kini terperangkap dalam jaringan birokrasi yang rumit. Pembahasan rancangan peraturan daerah (Ranperda) ini dinyatakan gagal total oleh legislatif setempat, dengan tudingan langsung bahwa pihak eksekutif—terutama Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR)—sengaja menghalangi proses. Pernyataan tegas ini tidak hanya mengungkap friksi internal pemerintahan, tetapi juga menyoroti risiko hilangnya kepercayaan investor di tengah upaya Pemkot menarik modal besar seperti proyek Plaza Suzuya senilai Rp150 miliar.
Pada Selasa (30/9/2025) siang, di ruang kerja Badan Pembentukan Perda Daerah (Bamperda) DPRD Kota Padangsidimpuan, Ketua Banua Siregar menyampaikan kekecewaan mendalam atas absennya perwakilan eksekutif dalam rapat yang telah dijadwalkan. Didampingi anggota Bamperda Asbin Sitompul dan Andi Lumalo Harahap, Siregar menegaskan bahwa hingga kini, dokumen esensial RTRW belum diserahkan, meskipun jadwal pembahasan telah disepakati bersama. “Sesuai waktu yang sudah kita jadwalkan bersama-sama dengan pihak eksekutif, OPD PUPR tidak bisa hadir sampai saat ini, begitu juga dengan dokumen untuk pembahasan RTRW ini belum juga diserahkan kepada kita,” ujar Siregar, menekankan bahwa kelambatan ini bukan sekadar administratif, melainkan indikasi kurangnya komitmen.
Secara konseptual, RTRW bukanlah sekadar dokumen perencanaan spasial, melainkan instrumen hukum yang memberikan kepastian arah pembangunan jangka panjang—minimal 20 tahun ke depan. Di Indonesia, regulasi ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menekankan peran RTRW dalam menyinkronkan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Bagi investor, RTRW berfungsi sebagai “peta jalan” yang menentukan zonasi lahan, infrastruktur pendukung, dan mitigasi risiko, sehingga mendorong aliran modal asing dan domestik. Tanpa pembaruan, Padangsidimpuan masih bergantung pada RTRW tahun 2013, yang sudah usang di tengah perubahan demografi dan pola urbanisasi pasca-pandemi. Dokumen lama ini gagal mengakomodasi kebutuhan baru, seperti integrasi kawasan industri ringan atau pusat ritel modern, yang justru menjadi kunci peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak properti dan retribusi.

Konteks ini semakin relevan dengan kedatangan investor PT Suriatama Mahkota Kencana (Suzuya), yang telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) pada Juni 2025 di bawah kepemimpinan Wakil Wali Kota Harry Pahlevi Harahap. Proyek plaza ritel ini, dengan investasi Rp150 miliar, diharapkan membuka ribuan lapangan kerja dan mengerek sektor perdagangan kota yang mayoritas bergantung pada UMKM tradisional. Andi Lumalo Harahap, kader Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), menyoroti ironi ini: “Pihak legislatif menginginkan RTRW secepatnya diselesaikan bersama, akan tetapi pihak eksekutif menginginkan supaya RTRW tidak selesai—atau dengan kata lain, eksekutif tidak menginginkan investor untuk membuka usaha di Kota Padangsidimpuan seperti Suzuya ini.” Harahap menambahkan, “Kita harus bersyukur Wakil Wali Kota Harry Pahlevi mampu mengajak investor ini, karena keberadaannya akan membuka lowongan kerja dan meningkatkan perekonomian kita nantinya.”
Analisis lebih dalam mengungkap pola yang lebih luas. Di tingkat nasional, keterlambatan RTRW sering kali menjadi penghalang iklim investasi, di mana daerah seperti Kalimantan Timur atau Bali berhasil mempercepat proses melalui kolaborasi lintas instansi untuk menarik FDI (Foreign Direct Investment). Padangsidimpuan, dengan potensi sebagai gerbang perdagangan Sumatera Utara, berisiko kehilangan momentum jika friksi ini berlanjut. Sebuah studi dari Universitas Diponegoro menunjukkan bahwa kesesuaian tata ruang dengan potensi investasi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 15% di kawasan strategis. Di sisi lain, tudingan terhadap OPD PUPR—seperti yang disampaikan Siregar: “Bukan kita DPRD atau Wali Kotanya yang tidak mau, melainkan OPD PUPR yang sengaja menjegal”—menggambarkan dinamika eksekutif-legislatif yang sering kali dipengaruhi oleh kepentingan sektoral, seperti alokasi anggaran atau resistensi terhadap perubahan zonasi lahan.
Baca juga : Polres Padangsidimpuan Ungkap 44 Kasus Narkoba, 53 Pelaku Ditangkap Periode Juli-September 2025
Meski demikian, tidak semua pihak eksekutif terlihat acuh. Asisten I Bidang Pemerintahan Pemkot Padangsidimpuan, dalam pernyataan paralel, menyuarakan komitmen untuk menyelesaikan RTRW sebelum akhir 2025. “Selaku koordinator OPD, saya berharap pihak legislatif melalui Bamperda dengan eksekutif bagian teknis tetap berkoordinasi untuk membahas RTRW ini,” katanya, menekankan target penyelesaian di tahun fiskal ini. Pernyataan ini sejalan dengan upaya kolaborasi Pemkot dengan Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara pada Agustus 2025, yang bertujuan mempercepat evaluasi dokumen. Rapat paripurna DPRD pada September lalu juga telah menyetujui pembahasan Ranperda RTRW dengan syarat perbaikan naskah akademik, menandakan adanya kemajuan meski terhambat.
Namun, bagi pengamat tata ruang, solusi jangka pendek seperti ini tak cukup. Diperlukan reformasi institusional untuk menghindari “penjegal birokrasi” yang sering kali menghambat daerah kecil seperti Padangsidimpuan. Sebagai kota dengan populasi sekitar 250 ribu jiwa—seperti tercantum dalam Kota Padangsidimpuan dalam Angka 2025—potensi ekonomi melalui ritel dan pariwisata budaya Batak Toba tak boleh terabaikan. Jika RTRW akhirnya terwujud, ia bisa menjadi katalisator bagi PAD yang stagnan, sekaligus membuktikan bahwa sinergi eksekutif-legislatif bukanlah opsi, melainkan keharusan.
Pemantauan lebih lanjut diperlukan, terutama dengan tenggat akhir tahun yang semakin dekat. Bagi investor seperti Suzuya, penundaan ini bukan hanya soal kertas; ia adalah taruhan atas masa depan kota yang sedang bertransisi dari ekonomi agraris ke urban modern.
Pewarta : Indra Saputra
