
RI News Portal. Jakarta, 29 Agustus 2025 – Di tengah dinamika ketenagakerjaan yang semakin kompleks, Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan (Pemkot Jaksel) mengambil langkah tegas untuk melindungi hak pekerja dengan menyerukan agar perusahaan-perusahaan di wilayahnya tidak lagi menahan ijazah atau dokumen pribadi milik karyawan. Inisiatif ini bukan hanya respons terhadap regulasi nasional terbaru, melainkan bagian dari upaya lebih luas untuk menyelaraskan praktik bisnis dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, menghindari potensi pelanggaran hukum yang bisa merugikan baik pekerja maupun pengusaha.
Wakil Wali Kota Administrasi Jakarta Selatan, Ali Murthadho, menyampaikan permintaan ini secara langsung saat memimpin Pertemuan Rutin Lembaga Kerjasama (LKS) Tripartit di Jakarta pada Jumat lalu. Forum yang melibatkan perwakilan dari organisasi pengusaha, serikat pekerja/buruh, dan pemerintah ini menjadi wadah dialog krusial, di mana tema “Penahanan Ijazah Pekerja dari Aspek Ketenagakerjaan” diangkat sebagai isu utama. “Saya minta agar perusahaan-perusahaan di Jakarta Selatan tidak menahan ijazah pekerja,” tegas Ali Murthadho, menekankan pentingnya kepatuhan untuk mencegah eksploitasi yang sering kali tersembunyi di balik rutinitas administrasi perusahaan.

Pertemuan tersebut tidak berhenti pada diskusi lokal. Ali Murthadho mengungkapkan rencana untuk membawa tema ini ke tingkat provinsi, dengan harapan memberikan masukan berharga terkait jaminan hukum. “Tema ini kita bawa ke tingkat provinsi, semoga bisa memberi masukan terkait dengan jaminan hukum terkait dengan aturan penahanan ijazah agar tidak ada lagi perusahaan yang melakukan hal tersebut,” ujarnya. Langkah ini mencerminkan pendekatan kolaboratif, di mana LKS Tripartit diharapkan menjadi katalisator untuk harmonisasi pemahaman antarpihak, terutama dalam konteks ketenagakerjaan yang sering kali diwarnai ketidakseimbangan kekuasaan antara pemberi kerja dan pekerja.
Latar belakang inisiatif Pemkot Jaksel ini tak lepas dari regulasi nasional yang baru diterbitkan. Pada Selasa pekan ini, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/5/HK.04.00/V/2025, yang secara eksplisit melarang penahanan ijazah dan/atau dokumen pribadi milik pekerja/buruh oleh perusahaan. SE ini muncul sebagai tanggapan atas praktik penahanan ijazah yang telah menjadi masalah kronis di berbagai sektor industri Indonesia, sering kali digunakan sebagai “jaminan” atas kinerja atau loyalitas karyawan, meskipun hal itu bertentangan dengan prinsip kebebasan dan martabat manusia.
Baca juga : Semangat Tinggi Ana/Tiwi dan Wakil Indonesia di Perempat Final Kejuaraan Dunia BWF 2025
“Oleh karena itu, dalam pertemuan ini, Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan bersama dengan LKS Tripartit diharapkan dapat menyelaraskan pemahaman penahanan ijazah,” tambah Ali Murthadho. Pendekatan ini menyoroti bagaimana regulasi seperti SE Kemenaker bukan hanya aturan administratif, melainkan instrumen untuk memperkuat hak asasi manusia di tempat kerja. Praktik penahanan ijazah, yang sering kali membuat pekerja terjebak dalam siklus ketergantungan, telah lama dikritik oleh aktivis hak buruh sebagai bentuk pemaksaan tidak langsung, yang bisa mengarah pada pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan dan bahkan Konvensi Internasional Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi Indonesia.
Meski demikian, SE tersebut tidak bersifat mutlak. Ada pengecualian yang diatur secara ketat untuk menjaga keseimbangan kepentingan. Penyerahan ijazah atau sertifikat kompetensi kepada perusahaan hanya diperbolehkan dalam situasi mendesak yang dibenarkan secara hukum, seperti ketika dokumen tersebut diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan yang dibiayai sepenuhnya oleh perusahaan berdasarkan perjanjian kerja tertulis. Dalam kasus ini, perusahaan wajib menjamin keamanan dokumen tersebut. Jika terjadi kerusakan atau kehilangan selama penyimpanan, perusahaan harus memberikan ganti rugi penuh kepada pekerja, memastikan bahwa pengecualian ini tidak disalahgunakan sebagai celah untuk praktik eksploitatif.
Inisiatif Pemkot Jaksel ini datang pada saat yang tepat, di mana isu ketenagakerjaan semakin menjadi sorotan di era pasca-pandemi, di mana banyak pekerja menghadapi ketidakpastian ekonomi. Dengan melibatkan LKS Tripartit, pendekatan ini tidak hanya menekankan penegakan hukum, tetapi juga membangun budaya dialog yang inklusif. Bagi pekerja, ini berarti perlindungan lebih baik atas hak atas dokumen pribadi mereka, yang sering kali menjadi modal utama untuk mobilitas karir. Sementara bagi pengusaha, kepatuhan terhadap regulasi ini bisa menghindarkan mereka dari risiko litigasi dan reputasi buruk.
Sebagai media online yang berfokus pada analisis mendalam ketenagakerjaan, kami melihat inisiatif ini sebagai langkah progresif menuju ekosistem kerja yang lebih adil. Namun, keberhasilan akan bergantung pada implementasi di lapangan—apakah perusahaan benar-benar mematuhi, atau apakah diperlukan mekanisme pengawasan yang lebih ketat. Pemkot Jaksel telah membuka pintu dialog; kini giliran stakeholder lain untuk melanjutkannya demi kesejahteraan bersama.
Pewarta : Yogi Hilmawan
