
RI News Portal. Salem, Brebes – 27 September 2025 – Kisah warga Desa Tembongraja, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, yang secara swadaya mengumpulkan dana hingga menjual ternak untuk memperbaiki jalan rusak, sempat menjadi sorotan nasional pekan lalu. Aksi ini tidak hanya memicu gelombang simpati dari masyarakat luas, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai tanggung jawab pemerintah dalam pemeliharaan infrastruktur dasar. Mengapa warga harus menanggung beban sendiri, sementara otoritas publik memiliki kewenangan dan sumber daya untuk menanganinya?
Hari ini, Bupati Brebes Hj. Paramitha Widya Kusuma, perempuan berusia 32 tahun yang dikenal dengan pendekatan langsungnya terhadap isu masyarakat, hadir secara pribadi di Salem. Kunjungan ini membawa dua bentuk respons konkret: konfirmasi atas alokasi anggaran perbaikan jalan yang telah berjalan, serta penyerahan bantuan sosial berupa 300 paket sembako melalui Program Wardoyo. Langkah ini diharapkan meredam kekhawatiran warga sekaligus memperkuat sinergi antara pemerintah daerah dan komunitas lokal.
Dalam pertemuan dengan warga, Paramitha menjelaskan bahwa ruas jalan Salem–Tembongraja telah dianggarkan sejak Maret 2025 dengan total Rp700 juta, terdiri dari Rp500 juta untuk peningkatan infrastruktur dan Rp200 juta untuk pemeliharaan rutin. “Sebenarnya jalan ini sudah masuk anggaran sejak Maret, kontrak dengan penyedia pun sudah diteken 28 Agustus, target rampung awal Oktober,” ujarnya, menekankan bahwa proses telah berjalan sebelum aksi warga menjadi viral.

Pernyataan ini didukung oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Brebes, yang membenarkan bahwa survei teknis dilakukan sejak 30 Juli hingga 11 Agustus—jauh sebelum demonstrasi warga meletus. Selain itu, telah ada audiensi dengan tokoh masyarakat setempat, termasuk seorang anggota DPRD Kabupaten Brebes yang turut mewakili aspirasi lokal. Hal ini menunjukkan adanya upaya koordinasi awal, meskipun belum sepenuhnya dirasakan oleh warga di lapangan.
Namun, suara warga tetap menjadi elemen kritis dalam dialog ini. Santoyo, seorang penduduk Tembongraja berusia 75 tahun, berbagi perspektifnya di tengah acara. Ia mengakui bahwa kondisi jalan telah lama menjadi masalah kronis. “Sudah sangat lama jalan ini tidak disentuh. Terakhir ada pokir dari dewan 2016, itu pun sudah lama sekali dan PL 200 Juta,” katanya, merujuk pada dana pokok pikiran anggota dewan yang terakhir kali dialokasikan hampir satu dekade lalu.
Santoyo juga mengungkapkan bahwa aksi demonstrasi pekan lalu tidak sepenuhnya bersifat spontan. “Belakangan belum ada lagi penanganan. Memang saya mendengar akan ada ramai-ramai akan turun, padahal saya tahu jalan sudah disurvei,” tambahnya. Pernyataan ini mengindikasikan adanya dinamika internal di kalangan warga, di mana informasi tentang rencana pemerintah mungkin belum merata, atau bahkan dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Di sisi lain, Bupati Paramitha tidak hanya berfokus pada solusi jangka pendek. Ia menyampaikan rencana penambahan anggaran hingga Rp2 miliar pada tahun 2026 untuk mempercepat penanganan ruas jalan tersebut. Untuk mewujudkannya, ia mengajak DPRD Kabupaten Brebes untuk berkontribusi melalui mekanisme pokok-pokok pikiran (pokir) mereka. “Kerja membangun infrastruktur butuh sinergi. Saya berharap DPRD juga ikut mendorong lewat pokir,” tegasnya, menyoroti pentingnya kolaborasi lintas lembaga dalam pembangunan daerah.
Baca juga : Pemerintah Tegaskan Penanganan Hukum Pasca-Demonstrasi Agustus 2025 Sesuai Norma Hukum dan HAM
Selain isu infrastruktur, kunjungan ini juga dimanfaatkan untuk memperkuat dukungan sosial. Melalui Program Wardoyo—sebuah inisiatif bantuan pangan yang melibatkan kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Brebes, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), dan Bank Jateng—Bupati menyerahkan 300 paket sembako langsung kepada warga. “Hari ini saya datang tidak dengan janji, tapi dengan solusi. Rakyat sudah berkorban, sekarang giliran pemerintah hadir penuh,” katanya, menekankan komitmen untuk mendukung kesejahteraan masyarakat di tengah tantangan ekonomi.
Kehadiran Bupati disambut hangat oleh warga, menciptakan suasana dialog yang konstruktif. Namun, di balik itu, mulai muncul pemahaman publik bahwa gotong royong warga memang merupakan bentuk ketahanan komunal yang autentik, sementara aksi demonstrasi pekan lalu tampaknya tidak lepas dari dorongan politis dari pihak tertentu. Kisah ini menjadi pengingat akan kompleksitas tata kelola infrastruktur di tingkat lokal, di mana transparansi informasi dan partisipasi masyarakat menjadi kunci untuk menghindari kesalahpahaman serupa di masa depan.
Berita ini disusun berdasarkan pengamatan langsung dan wawancara di lokasi, dengan pendekatan yang menekankan konteks historis dan implikasi kebijakan, berbeda dari liputan sensasional yang kerap mendominasi media online konvensional. Fokus pada narasi mendalam ini bertujuan untuk mendorong diskusi akademis mengenai peran pemerintah dalam pembangunan berkelanjutan.
Pewarta : Tur Hartoto
