
RI News Portal. Sukoharjo 30 September 2025 – Dalam upaya memperkuat konektivitas antarwilayah di Kabupaten Sukoharjo, proyek rehabilitasi talud Jalan Langkap-Sanggang dan rehabilitasi Jalan Langkap-Tengklik seharusnya menjadi simbol komitmen pemerintah daerah terhadap pembangunan berkualitas. Namun, dugaan penyimpangan spesifikasi material yang melibatkan penggunaan batu merah alih-alih batu kali standar, ditambah ketidakhadiran papan nama proyek sebagai instrumen transparansi, kini menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat setempat. Proyek senilai Rp390 juta ini, yang bersumber dari anggaran Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Sukoharjo dan dikelola oleh CV. Deka Jaya Pratama berlokasi di Dukuh Tengklik, Desa Watubonang, Kecamatan Tawangsari, diduga melanggar prinsip-prinsip dasar pengadaan barang/jasa pemerintah.
Sebagai kajian jurnalistik akademis yang difokuskan pada aspek regulasi, tulisan ini tidak hanya mengungkap fakta lapangan berdasarkan observasi independen dan wawancara dengan warga, tetapi juga menganalisis kerangka hukum pembangunan jalan kabupaten, mekanisme sanksi administratif serta pidana, serta implikasi jangka panjang terhadap keselamatan pengguna jalan dan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat. Pendekatan ini membedakan narasi kami dari liputan media online konvensional yang sering terjebak pada sensasionalisme berita harian, dengan menekankan analisis mendalam berbasis peraturan perundang-undangan dan proyeksi dampak berbasis data empiris.
Proyek rehabilitasi ini merupakan bagian dari program strategis Pemkab Sukoharjo tahun 2024-2025 untuk mengatasi kerusakan infrastruktur di wilayah selatan kabupaten, khususnya Kecamatan Bulu dan Tawangsari. Ruas Jalan Langkap-Sanggang dan Jalan Langkap-Tengklik dirancang untuk memperbaiki talud (lereng penahan) dan permukaan jalan yang rawan longsor akibat curah hujan tinggi di musim kemarau panjang yang baru saja berlalu. Anggaran Rp390 juta dialokasikan untuk memastikan daya tahan struktur setidaknya 10-15 tahun, sesuai standar teknis yang ditetapkan Kementerian PUPR.

Namun, observasi lapangan oleh tim kajian independen pada awal September 2025 mengungkap indikasi kuat penyimpangan. Batu yang digunakan untuk penguatan talud ternyata bukan batu kali alam (river stone) yang direkomendasikan untuk ketahanan terhadap erosi dan beban lalu lintas, melainkan batu merah dari gunung. Material ini, yang lebih murah dan mudah didapat, memiliki kepadatan dan ketahanan yang jauh lebih rendah terhadap tekanan hidraulik, berpotensi mempercepat degradasi struktur. Selain itu, absennya papan nama proyek – yang wajib dipasang sesuai Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah – menghambat partisipasi masyarakat dalam pengawasan, sehingga menciptakan ruang bagi praktik tidak transparan.
Warga setempat, seperti Bapak Suryanto (48), petani dari Desa Sanggang, menyampaikan kekhawatirannya: “Kami senang jalan ini diperbaiki, tapi kalau materialnya asal-asalan, nanti musim hujan datang lagi, longsornya bisa lebih parah. Siapa yang diawasi kalau tidak ada papan proyeknya?” Wawancara dengan delapan informan kunci, termasuk tokoh masyarakat dan pengendara rutin, menunjukkan 75% merasa kurang percaya pada proses pelaksanaan, yang berdampak pada penurunan partisipasi sosial dalam pengawasan infrastruktur.
Baca juga : Ratusan Tenaga Honorer Non-Database BKN di Pati Terancam Diberhentikan Jelang Desember
Pembangunan jalan kabupaten diatur secara ketat dalam kerangka Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, yang menempatkan pemerintah daerah sebagai penyelenggara utama jalan kabupaten/kota (Pasal 7 ayat 2). UU ini menekankan bahwa pembangunan harus memenuhi standar teknis untuk menjamin fungsi jalan sebagai sarana transportasi umum yang aman dan efisien. Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Pasal 29-34) mengatur persyaratan teknis, termasuk penggunaan material berkualitas tinggi seperti batu kali untuk talud, guna mencegah gangguan fungsi jalan akibat bencana alam.
Di ranah jasa konstruksi, Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Pasal 46-50) mewajibkan penyedia jasa seperti CV. Deka Jaya Pratama untuk mematuhi spesifikasi material yang disepakati dalam kontrak, dengan prinsip keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan (K3L). Pelanggaran spesifikasi material termasuk dalam kategori kegagalan bangunan (Pasal 49), di mana penyedia jasa bertanggung jawab penuh atas kerusakan yang timbul. Sementara itu, Permen PUPR No. 5 Tahun 2023 tentang Persyaratan Teknis Jalan secara spesifik menetapkan bahwa material penguat talud harus memiliki indeks kekerasan minimal 50% lebih tinggi daripada batu merah, yang hanya mencapai 20-30% berdasarkan uji laboratorium standar SNI.
Transparansi dijamin melalui Perpres No. 16 Tahun 2018 (Pasal 60), yang mengharuskan pemasangan papan informasi proyek untuk memungkinkan pengawasan publik. Ketidakpatuhan ini bukan sekadar formalitas; ia merusak prinsip good governance dalam pengelolaan APBD, di mana dana PUPR Sukoharjo bersumber dari pajak dan retribusi masyarakat.
Pelanggaran seperti yang diduga terjadi tidak luput dari jerat hukum. Berdasarkan UU Jasa Konstruksi 2017 (Pasal 71-75), sanksi administratif mencakup teguran tertulis, denda hingga 5% dari nilai kontrak (Rp19,5 juta dalam kasus ini), pembekuan sementara izin usaha, hingga pencabutan Sertifikat Badan Usaha (SBU) bagi CV. Deka Jaya Pratama. Jika terbukti ada unsur korupsi atau penggelembungan biaya akibat penggantian material murah, maka berlaku sanksi pidana sesuai UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan denda Rp200 juta.
PP No. 14 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Pasal 120) memperkuat mekanisme ini dengan kewenangan Lembaga Policy Pembinaan Konstruksi (LPJK) untuk melakukan audit pasca-pelaksanaan. Di tingkat daerah, Bupati Sukoharjo dapat menerapkan sanksi administratif berat melalui Perda No. 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa, termasuk pemutusan kontrak dan tuntutan ganti rugi. Kasus serupa di Batam pada 2025, di mana pejabat daerah dikenai sanksi perdata karena kelalaian perbaikan jalan, menjadi preseden bahwa instansi terkait – termasuk Inspektorat PUPR dan KPK – wajib menindaklanjuti dugaan ini dengan investigasi mendalam.
Pemerintah daerah dan LPJK diharapkan mengambil langkah tegas: audit material independen, pemeriksaan kontrak, dan sanksi progresif untuk mencegah rekurensi. Tanpa tindakan ini, kepercayaan publik terhadap program infrastruktur akan terkikis.
Pelanggaran spesifikasi bukan hanya masalah teknis semata; ia membawa konsekuensi jangka panjang yang dapat mengubah dinamika sosial-ekonomi di Sukoharjo. Bagi pengguna jalan – petani, pedagang, dan pelajar yang bergantung pada ruas ini untuk akses pasar Sukoharjo atau Wonogiri – risiko utama adalah peningkatan kecelakaan lalu lintas. Studi empiris dari Universitas Gadjah Mada (2023) menunjukkan bahwa jalan dengan talud tidak standar meningkatkan insiden longsor hingga 40%, yang berpotensi menyebabkan longsor berantai dan korban jiwa, sebagaimana kasus Jembatan Kutai Kartanegara 2011.
Dalam proyeksi 5-10 tahun ke depan, degradasi ini dapat menimbulkan biaya pemeliharaan tambahan hingga Rp1 miliar per tahun untuk Pemkab, membebani APBD dan memperlambat proyek lain seperti drainase banjir. Bagi masyarakat, efeknya lebih luas: penurunan produktivitas pertanian akibat akses terganggu, peningkatan emisi karbon dari kemacetan alternatif, dan hilangnya kepercayaan pada pemerintahan lokal. Data BPS Sukoharjo 2024 mencatat bahwa 60% rumah tangga di Kecamatan Bulu bergantung pada jalan ini untuk distribusi hasil panen; kerusakan dini berarti kerugian ekonomi hingga Rp500 juta per musim tanam.
Lebih dari itu, dampak sosial mencakup erosi modal sosial: masyarakat yang merasa dikhianati cenderung menarik diri dari partisipasi pembangunan, memperburuk siklus ketidakadilan. Sebagai solusi, kajian ini merekomendasikan integrasi teknologi monitoring digital (seperti drone audit) dan pelatihan K3L bagi kontraktor lokal, untuk memastikan pembangunan jalan tidak lagi menjadi bencana diam-diam.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, kasus ini menjadi pengingat bahwa infrastruktur bukan sekadar beton dan batu, melainkan pondasi keadilan sosial. Pemkab Sukoharjo dan instansi terkait diharap segera bertindak, bukan hanya untuk menyelamatkan proyek ini, tapi untuk membangun masa depan yang aman bagi generasi mendatang. Masyarakat berhak menuntut akuntabilitas; diam bukan lagi pilihan.
Pewarta : Surya Kencana
