
RI News Portal. Tapanuli Selatan, 22 September 2025 – Kasus dugaan korupsi yang melibatkan aliran dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kian mengemuka, memicu sorotan tajam dari kalangan masyarakat sipil terhadap integritas penegakan hukum di sektor keuangan. Surat terbuka yang disampaikan oleh Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (AMPUH) kepada Presiden Prabowo Subianto dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi katalisator baru, menuntut proses hukum yang adil dan tanpa pandang bulu terhadap semua pihak yang terseret.
Dalam suratnya yang didasarkan pada Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Muhammad Hadi Susandra Lubis menyoroti urgensi penanganan kasus yang menyeret nama Bupati Tapanuli Selatan, Gus Irawan Pasaribu—seorang kader Partai Gerindra yang juga dekat dengan lingkaran Presiden Prabowo. “Saya mendesak agar kasus korupsi ini segera diproses serius. KPK telah menetapkan dua tersangka terkait persoalan CSR BI-OJK, dan ini harus menjadi prioritas dalam rangka supremasi hukum,” tegas Hadi saat dihubungi Senin sore ini.
Permintaan Hadi bukan sekadar seruan emosional, melainkan panggilan untuk menjaga marwah institusi keuangan nasional yang kerap menjadi ladang subur bagi praktik kolusi. Ia menekankan prinsip keadilan universal: “Siapa pun yang terlibat, termasuk pejabat daerah atau anggota legislatif, harus diadili secara transparan. Ini bukan soal politik, tapi soal akuntabilitas publik yang telah lama direnggut oleh budaya impunitas.”

Sementara itu, Bupati Gus Irawan Pasaribu menjawab tudingan dengan nada percaya diri, menolak segala bentuk dugaan keterlibatannya. “Teknologi KPK sudah sangat canggih. Jika mereka ingin memantau setiap langkah kami, saya sama sekali tidak risau,” katanya melalui pernyataan resmi yang dirilis kantor bupati sore ini. Ia menepis spekulasi bahwa program kolaborasinya dengan BI melibatkan penyimpangan dana CSR, justru menyoroti fokus utamanya pada inisiatif digitalisasi layanan publik dan penguatan ekonomi lokal. “Program dengan BI lebih menekankan transformasi digital, bukan aliran dana semata. Jika ada yang sengaja menyeret nama saya, biarlah proses hukum yang bicara—semua akan terungkap,” tambahnya, menunjukkan sikap yang seolah menantang lembaga antirasuah untuk membuktikan tuduhan.
Untuk memahami akar persoalan ini, kita perlu menelusuri kronologi yang diungkap KPK berdasarkan penyelidikan awal. Semuanya bermula dari pembentukan Panitia Kerja (Panja) oleh Komisi XI DPR RI, yang bertugas membahas rencana anggaran BI dan OJK sebelum persetujuan dana CSR. Di antara anggota Panja tersebut, nama Heri Gunawan dan Satori muncul sebagai figur kunci—keduanya kini resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan peran mereka dalam memuluskan aliran dana.
Baca juga : Inggris Akui Palestina sebagai Negara, Zomlot: Momen Bersejarah di Tengah Penderitaan
Rapat bersama BI dan OJK pada November 2019 menjadi titik awal. Selanjutnya, Panja menggelar pertemuan tertutup secara rutin sepanjang 2020 hingga 2022, yang menurut temuan KPK, menghasilkan kesepakatan implisit tentang alokasi CSR. BI sepakat menyediakan sekitar 10 kegiatan CSR per tahun, sementara OJK berkomitmen untuk 18 hingga 24 kegiatan. Total nilai dana yang mengalir mencapai Rp24 miliar, disalurkan melalui program sosial yang dikoordinasikan oleh anggota Komisi XI DPR RI.
Modus operandi yang diduga terjadi adalah konversi dana CSR menjadi proyek-proyek sosial yang menguntungkan pihak tertentu, termasuk pejabat daerah seperti Gus Irawan. Meski belum ada dakwaan formal terhadap bupati, keterkaitannya dengan program BI di Tapanuli Selatan menjadi sorotan, terutama karena daerah tersebut sering menjadi penerima manfaat CSR untuk infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat.
Kasus ini bukan yang pertama menyangkut CSR lembaga keuangan. Sejarah mencatat, dana sosial yang seharusnya menjadi instrumen pembangunan berkelanjutan kerap disalahgunakan sebagai “pelicin” politik atau pribadi, melemahkan kepercayaan publik terhadap regulasi OJK dan BI. Dalam konteks reformasi birokrasi era Prabowo, tuntutan AMPUH ini bisa menjadi ujian awal bagi komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi struktural.
Hingga berita ini diturunkan, KPK belum merespons secara resmi surat terbuka tersebut, meski sumber internal menyatakan bahwa penyelidikan akan dipercepat. Sementara itu, publik menanti apakah desakan ini akan membuka pintu transparansi lebih luas, atau justru tenggelam dalam dinamika politik pasca-pemilu. Di tengah hiruk-pikuk isu ekonomi nasional, kasus ini mengingatkan bahwa supremasi hukum tetap menjadi fondasi utama bagi kemajuan bangsa.
Pewarta : Indra Saputra
