
RI News Portal. Melawi Kalimantan Barat – Di tengah ketegangan yang membayangi ribuan petani sawit mandiri di Kabupaten Melawi, janji Bupati H. Dadi Sunarya Usfa Yursa akhirnya menunjukkan hasil konkret. Pada Selasa, 26 Agustus 2025, rombongan yang dipimpin langsung oleh Bupati Dadi mendatangi Kantor Gubernur Kalimantan Barat di Pontianak. Kunjungan ini bukanlah sekadar protokoler, melainkan puncak dari perjuangan kolektif untuk mencari keadilan atas penyegelan lahan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Rombongan tersebut mencakup beragam elemen masyarakat: Wakil Bupati Malin, Sekretaris Daerah Paulus, anggota DPRD Provinsi Kalbar dan Kabupaten Melawi, serta perwakilan dari organisasi petani sawit mandiri. Kehadiran lintas unsur ini menggarisbawahi bahwa isu penyegelan lahan bukan hanya masalah sektoral, melainkan isu bersama yang memengaruhi stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat Melawi. “Ini adalah manifestasi dari komitmen kami dalam memperjuangkan hak-hak dasar petani. Kami membawa aspirasi langsung dari masyarakat yang mendambakan kepastian hukum,” kata Bupati Dadi dengan tegas saat ditemui usai pertemuan.

Pertemuan di ruang rapat Gubernur berlangsung dalam suasana dialog yang hangat, meskipun sarat dengan isu kompleks. Gubernur Kalbar, Ria Norsan, menyambut rombongan secara langsung dan menyatakan kesiapannya untuk menampung keluhan tersebut. “Pemerintah provinsi tidak akan menutup telinga terhadap suara rakyat. Kami akan menindaklanjuti aspirasi ini dengan tetap mengacu pada kerangka hukum yang ada,” ujar Gubernur Norsan. Sebagai langkah awal, ia menerima berkas pengajuan pemutihan lahan beserta data kebun sawit mandiri dari 16 desa di Melawi, dengan total luas mencapai sekitar 16.000 hektare.
Menurut data yang terkumpul, penyegelan oleh Satgas PKH telah memengaruhi 634,18 hektare lahan di Melawi. Penyegelan ini didasarkan pada Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, di mana lahan tersebut dikategorikan sebagai kawasan Hutan Tanaman Industri yang berada dalam konsesi PT Inhutani—perusahaan yang telah lama tidak aktif mengelolanya. Bagi petani, however, dampaknya jauh melampaui aspek administratif: ini adalah ancaman langsung terhadap sumber penghidupan mereka, termasuk akses terhadap pendidikan anak dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
Baca juga : APDESI Sintang: Motor Perubahan untuk Tata Kelola Desa yang Inovatif dan Transparan
Suhaili, koordinator perwakilan petani yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Nanga Nyuruh di Kecamatan Ella Hilir, berbagi pengalaman pribadi melalui wawancara telepon dengan tim redaksi. “Kami hanya menginginkan kepastian agar bisa bekerja tanpa rasa was-was. Hasil panen seharusnya menjadi berkah, bukan sumber konflik,” katanya dengan suara yang menunjukkan kelelahan emosional. Ia menambahkan bahwa plang penyegelan yang dipasang Satgas PKH—dengan peringatan ketat seperti larangan memasuki, merusak, atau memanen tanpa izin—telah menimbulkan tekanan psikologis bagi masyarakat.
Dari perspektif akademis, isu ini mencerminkan konflik klasik antara regulasi lingkungan dan hak ekonomi masyarakat lokal di Indonesia. Studi-studi di bidang agraria dan hukum lingkungan sering menyoroti bagaimana kebijakan penertiban hutan, meskipun bertujuan melindungi ekosistem, kerap mengabaikan dimensi sosial-ekonomi petani kecil. Di Kalimantan Barat, di mana sawit menjadi tulang punggung ekonomi pedesaan, penyegelan semacam ini berpotensi memicu ketidakstabilan sosial jika tidak ditangani dengan pendekatan inklusif. Analisis ini sejalan dengan kerangka teori keadilan distributif, di mana akses terhadap sumber daya alam harus diimbangi dengan perlindungan hak masyarakat adat dan petani mandiri.
Hasil pertemuan ini membuahkan kesepakatan penting: Pemerintah Provinsi Kalbar, Pemkab Melawi, dan perwakilan petani akan segera menggelar diskusi bersama Kejaksaan Tinggi Kalbar untuk mengklarifikasi status hukum lahan dan hak panen. Selain itu, Gubernur Norsan berjanji memfasilitasi pertemuan langsung antara petani dan Satgas PKH, pihak yang memiliki otoritas utama dalam penertiban. “Gubernur menyarankan agar kami tetap memanen hasil kebun sementara proses berjalan, asal menjaga ketenangan dan menghindari tindakan anarkis,” ungkap Suhaili. Pesan ini disertai imbauan agar masyarakat tetap sabar dan menjaga kondusivitas wilayah.
Bagi warga Melawi, momen ini menjadi sinar harapan di tengah ketidakpastian yang telah berlangsung lama. Bupati Dadi menekankan bahwa pemerintah daerah akan terus mendampingi rakyat. “Kami tidak mencari solusi instan, tapi jalan yang adil untuk semua pihak. Petani kami pantas mendapatkan pengakuan atas kerja keras mereka,” katanya. Meski baru langkah awal, pertemuan ini bisa menjadi katalisator perubahan, memungkinkan petani sawit mandiri untuk menatap masa depan dengan lebih optimis—tanpa bayang-bayang ancaman hukum yang menggantung.
Pewarta : Lisa Susanti
