
RI News Portal. Manado, 25 September 2025 – Ribuan anggota Ormas Adat Brigade Nusa Utara Indonesia (BNUI) membanjiri Jalan Sudirman, pusat kota Manado, Sulawesi Utara, pada Rabu (24/9) kemarin, menuntut keadilan bagi seorang profesor yang diduga menjadi korban jaringan pemalsuan dokumen tanah. Demonstrasi yang berlangsung damai ini menyoroti kasus yang telah mengendap hampir delapan tahun di lembaga penegak hukum, menimbulkan pertanyaan mendalam tentang efektivitas sistem peradilan di tengah dugaan intervensi kekuasaan.
Aksi dimulai di depan kantor PT Hasjrat Abadi, perusahaan yang dimiliki Stella Mokoginta—figur sentral dalam tuduhan tersebut. Massa, yang mengenakan atribut adat berwarna merah-putih khas BNUI, menuntut ganti rugi atas kerugian material dan non-material yang dialami Prof. Ing. Mokoginta, seorang akademisi berpengalaman yang diklaim telah mengabdi puluhan tahun bagi pendidikan dan pembangunan nasional. Berdasarkan laporan polisi bernomor LP/541/XII/2020/Sulut/SPKT tanggal 7 Desember 2020, Stella dan sembilan tersangka lain diduga terlibat dalam pemalsuan dokumen kepemilikan tanah, yang berdampak langsung pada hak-hak Prof. Mokoginta. Meski demikian, hingga kini tidak ada tindakan penahanan dari Polda Sulawesi Utara, meskipun kasus telah bergulir ke Mabes Polri.
Dalam orasi yang penuh semangat di depan gedung perkantoran, Stenly Sendouw, S.H., tokoh BNUI yang memimpin aksi, menegaskan komitmennya sebagai “suara rakyat”. “Saya tidak akan tinggal diam menyaksikan seorang abdi negara ditindas oleh oknum-oknum mafia tanah dan mafia hukum,” ujar Sendouw, yang juga dikenal sebagai pengacara hak adat di wilayah timur Indonesia. Ia menyoroti nasib Prof. Mokoginta, seorang wanita paruh baya yang disebutnya telah “mengemis” ke Presiden dan Kapolri RI tanpa tanggapan memadai. “Atas nama rakyat, saya berketetapan membantu penyelesaian ini secepat mungkin. Jika ada yang berani melawan, silakan—kami siap hadapi,” tegasnya, disambut sorak massa.

Sendouw melanjutkan dengan ultimatum: Jika tidak ada kemajuan dalam waktu dekat, BNUI akan menduduki kantor PT Hasjrat Abadi dan kediaman pribadi Stella Mokoginta. Namun, ia tak lupa menyampaikan apresiasi kepada aparat kepolisian dan TNI yang menjaga kelancaran aksi, menekankan bahwa demonstrasi ini bertujuan membangun dialog, bukan konfrontasi.
Suara serupa bergema dari Jhon Pade, aktivis BNUI sekaligus koordinator lapangan, yang mengutuk kebebasan Stella sebagai “pelecehan terhadap proses hukum”. “Stella Mokoginta telah ditetapkan tersangka, tapi masih berkeliaran bebas. Jangan-jangan ada jenderal yang membekingi kasus ini, sehingga mengendap di Polda Sulut maupun Mabes Polri,” sindir Pade, merujuk pada spekulasi publik tentang kemungkinan pengaruh elit militer dalam sengketa tanah. Ia menekankan tuntutan utama: pengembalian hak-hak Prof. Mokoginta beserta kompensasi penuh. “Kami minta penyelesaian segera—Stella dan kroni-kroninya harus bertanggung jawab,” tambahnya, sambil menyerukan transparansi dari lembaga penegak hukum.
Kronologi aksi berlanjut ke kediaman Stella di kawasan Paal Dua, Manado, di mana massa kembali menyuarakan orasi serupa. Di sana, ketua BNUI secara simbolis menyematkan karangan bunga bertuliskan “RIP Keadilan” di pagar rumah, sebuah gestur provokatif yang mencerminkan frustrasi atas stagnasi kasus. Tak berhenti di situ, rombongan melanjutkan perjalanan ke Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) di Jalan 17 Agustus. Ribuan peserta langsung membentangkan spanduk tuntutan, menyoroti dugaan keterlibatan oknum pegawai BPN dalam jaringan Stella.
Kepala Kantor Wilayah BPN/ATR Sulut, yang tak disebutkan namanya secara resmi, secara proaktif menerima aspirasi massa di halaman kantor. Tak lama kemudian, ia memanggil Sendouw beserta rombongan ke ruang pertemuan internal. Di sesi tersebut, BNUI menyampaikan isu-isu luas terkait mafia tanah di Sulawesi Utara, termasuk promosi kontroversial seorang oknum pegawai BPN Kota Kotamobagu—yang disebut-sebut sebagai tersangka pembantu Stella—ke posisi kepala BPN di Halmahera. “Ini bukti betapa sistemnya rapuh,” komentar salah seorang peserta aksi secara anonim.
Budi Tarigan, salah satu petinggi BPN yang hadir, merespons dengan nada hati-hati. “Terkait oknum pegawai yang berstatus tersangka, kasusnya sedang diproses ke Kementerian melalui Biro Kepegawaian. Nantinya akan diperiksa administratif. Percayalah pada proses hukum—kami selalu menghormatinya,” jelas Tarigan, meski pernyataannya memicu keraguan di kalangan demonstran yang menuntut sanksi tegas, bukan sekadar prosedur birokratis.
Kasus Prof. Ing. Mokoginta bukanlah insiden terisolasi, melainkan cerminan pola sistemik dalam sengketa tanah adat di Indonesia timur. Sebagai akademisi teknik sipil yang pensiun, Prof. Mokoginta telah menyurati DPR RI bersama BNUI, menunggu respons yang bisa mempercepat resolusi di Mabes Polri. Demonstrasi ini, yang berlangsung tanpa insiden signifikan berkat pengamanan ketat, menandai eskalasi dari upaya lobi sebelumnya ke aksi massa yang lebih vokal.
Para pengamat hukum adat menilai aksi BNUI sebagai panggilan mendesak untuk reformasi, di mana kasus seperti ini—yang melibatkan pemalsuan dokumen dan dugaan kolusi—sering terhambat oleh jaringan kepentingan. “Ini bukan hanya soal satu profesor; ini tentang erosi kepercayaan publik terhadap institusi,” kata seorang dosen hukum dari Universitas Sam Ratulangi, yang enggan disebut namanya. Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari PT Hasjrat Abadi atau kuasa hukum Stella Mokoginta. BNUI sendiri mengonfirmasi rencana pemantauan ketat terhadap respons pemerintah dalam 14 hari ke depan.
Aksi ini menggarisbawahi ketegangan yang membara di balik kemajuan ekonomi Sulawesi Utara: di satu sisi, investasi properti melonjak; di sisi lain, hak adat dan keadilan individu terpinggirkan. Apakah demonstrasi kemarin akan menjadi katalisator perubahan, atau sekadar babak baru dalam saga panjang, masih menanti jawaban dari lembaga-lembaga yang bertanggung jawab.
Pewarta : Marco Kawulusan
