RI News Portal. Samarinda – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa setiap pemberian Hak Guna Usaha (HGU) tidak lagi semata-mata memberikan kebebasan ekonomi kepada korporasi, melainkan disertai tanggung jawab lingkungan yang bersifat imperatif. Pelanggaran terhadap kewajiban konservasi dapat berujung pada penetapan status tanah terlantar hingga pencabutan hak.
“Setiap hak atas tanah yang diberikan negara selalu diikat oleh tiga elemen yang tidak terpisahkan: Right, Responsibility, dan Restriction — yang kami sebut konsep 3R,” ungkap Direktur Landreform Direktorat Jenderal Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN, Rudi Rubijaya, dalam forum koordinasi di Samarinda, Kalimantan Timur, Kamis (4/12/2025).
Menurut Rudi, konsep 3R ini menjadi fondasi manajemen pertanahan modern yang diterapkan pemerintah sejak beberapa tahun terakhir. Pemegang HGU tidak hanya diberi hak untuk melakukan kegiatan usaha, tetapi wajib secara aktif menjaga fungsi ekologis lahan, termasuk melindungi sempadan sungai, kawasan resapan air, dan zona penyangga yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.

“Jika aktivitas usaha mengakibatkan kerusakan ekosistem — misalnya pengurangan lebar sempadan sungai atau alih fungsi kawasan konservasi tanpa izin — maka itu merupakan pelanggaran berat terhadap sifat hak yang diberikan,” tegasnya.
Kementerian ATR/BPN telah membentuk satuan tugas pengawasan berlapis yang melibatkan kantor wilayah dan kantor pertanahan di tingkat kabupaten/kota. Mekanisme ini memungkinkan deteksi dini terhadap indikasi ketidakpatuhan.
“Langkah pertama adalah teguran tertulis disertai batas waktu perbaikan. Jika perusahaan tetap abai, kami akan memproses penetapan tanah terlantar sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021,” jelas Rudi.
Penetapan tanah terlantar bukan sekadar status administratif, melainkan pintu masuk bagi pencabutan hak secara permanen. Meski demikian, Rudi menegaskan bahwa pencabutan izin tetap menjadi opsi terakhir. “Prioritas kami adalah koreksi dan kepatuhan, bukan langsung menghukum. Namun negara tidak akan ragu mengambil alih kembali tanah yang dikelola secara tidak bertanggung jawab,” imbuhnya.
Dalam konteks desentralisasi tata ruang pasca-UU Cipta Kerja, pemerintah daerah kini memiliki kewenangan luas untuk menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Namun, Rudi menekankan bahwa kebebasan tersebut tetap harus selaras dengan kepentingan nasional, terutama terkait perlindungan kawasan lindung dan hutan produksi yang dapat dikonversi.
“Setiap usulan perubahan fungsi kawasan hutan harus melalui mekanisme kesepakatan lintas kementerian. Tidak ada lagi perubahan sepihak yang mengorbankan daya dukung lingkungan demi investasi jangka pendek,” ujarnya.
Pernyataan ini sekaligus menjawab kekhawatiran sejumlah kalangan yang melihat maraknya relaksasi tata ruang di daerah sebagai risiko deforestasi dan degradasi lingkungan. Dengan penguatan konsep 3R dan pengawasan berbasis data spasial, Kementerian ATR/BPN berupaya memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi berbasis lahan tetap berjalan dalam koridor keberlanjutan ekologis.
“Tujuan akhirnya sederhana: setiap hektare tanah di Indonesia harus memberikan manfaat maksimal bagi rakyat tanpa mengorbankan generasi mendatang,” tutup Rudi Rubijaya.
Pewarta : Vie

