RI News Portal. Beijing, 4 Desember 2025 – Di balik gemerlap upacara penyambutan di Aula Besar Rakyat, Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden China Xi Jinping memulai dialog yang sarat muatan strategis pada Kamis pagi ini. Kunjungan kenegaraan Macron yang keempat ini bukan sekadar protokol diplomatik; ia menjadi panggung krusial untuk menjajaki jalan keluar dari krisis global, mulai dari kabut perang di Ukraina hingga bayang-bayang konflik di Selat Taiwan. Saat Beijing semakin vokal dalam narasinya di panggung dunia, pertemuan ini juga menyoroti dinamika rumit antara aspirasi multilateral Prancis dan ambisi hegemoni China di kawasan Indo-Pasifik.
Pertemuan kedua pemimpin ini datang di saat yang tepat, ketika Eropa berusaha menyeimbangkan ketergantungan ekonomi pada China dengan kebutuhan de-risking yang mendesak. Macron, yang baru saja menyambut Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Paris pekan lalu, membawa mandat tegas: mendorong Beijing agar lebih tegas menekan Moskow untuk gencatan senjata. “China, sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, memiliki peran pivotal untuk memengaruhi Rusia agar memilih dialog daripada kehancuran,” kata seorang pejabat tinggi Elysee yang enggan disebut namanya, merujuk pada harapan Paris agar Beijing menghentikan segala bentuk dukungan logistik yang diduga mengalir ke pasukan Rusia.

Namun, isu Ukraina hanyalah satu lapis dari lapisan kompleksitas. Di meja perundingan, Taiwan kemungkinan besar akan menjadi titik panas. China, yang konsisten mengklaim pulau itu sebagai wilayah tak terpisahkannya, baru-baru ini menegaskan posisi tegasnya melalui panggilan telepon akhir November dengan Presiden AS Donald Trump. Xi menekankan bahwa intervensi asing hanya akan memperburuk stabilitas regional, sebuah pesan yang kini bergema lebih kencang di tengah perselisihan dengan Tokyo. Pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi bulan lalu—yang menyiratkan kemungkinan respons militer Jepang jika Taiwan diserang—telah memicu gelombang protes dari Beijing. Menteri Luar Negeri China Wang Yi bahkan menyebutnya sebagai “provokasi yang berbahaya”, mengingatkan pada pelajaran sejarah Perang Dunia II di mana Jepang dianggap sebagai pihak yang memicu konflik.
Dalam konteks ini, Macron berjalan di atas tali tipis. Prancis, mewakili posisi Uni Eropa, tetap berkomitmen pada prinsip “satu China” sambil menolak perubahan paksa status quo di Selat Taiwan. Macron dikabarkan mempertimbangkan undangan bagi Xi ke KTT G7 tahun depan di Prancis, sebuah gestur yang bisa membuka pintu dialog multilateral—tapi juga berisiko menimbulkan friksi dengan sekutu Atlantik seperti AS dan Jepang. “Ini adalah upaya untuk menjembatani, bukan memihak,” tambah pejabat Prancis tersebut, menekankan bahwa Paris ingin melihat China berkontribusi lebih besar pada stabilitas Eurasia daripada memperlemahnya.
Sementara itu, Beijing melihat kunjungan ini sebagai peluang untuk memperkuat ikatan dengan Paris, terutama di tengah ketegangan perdagangan yang membayangi. Kementerian Luar Negeri China menyatakan kesiapan untuk “memperdalam kemitraan multilateral” yang lebih erat, dengan fokus pada hubungan China-Uni Eropa yang stabil. Macron dijadwalkan menghadiri forum bisnis Prancis-China sore ini, di mana topik seperti tarif impor brandy Eropa—yang sempat menjadi korban retaliasi Beijing—dan pesanan pesawat Airbus yang tertunda kemungkinan akan dibahas. Namun, di balik agenda ekonomi, ada nuansa geopolitik: China berharap dukungan Prancis untuk menangkal narasi Jepang, sementara Prancis mencari jaminan bahwa ekspansi pengaruh Beijing di Pasifik tidak akan mengganggu rantai pasok global.

Kunjungan Macron yang berlangsung hingga Jumat ini juga menyentuh sentuhan budaya yang hangat. Pada hari kedua, ia akan ditemani Xi ke Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan, untuk menyaksikan pemulangan sepasang panda raksasa yang telah tinggal di Prancis selama 13 tahun. Gestur simbolis ini mengingatkan pada kunjungan Macron terakhir pada April 2023, ketika ia bertemu Xi bersama Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen—sebuah pertemuan yang menghasilkan janji dialog tapi juga kritik atas ketidakseimbangan perdagangan.
Bagi para pengamat hubungan internasional, pertemuan ini mencerminkan pola diplomasi kontemporer: di mana kekuatan besar seperti China dan Prancis harus menavigasi antara konfrontasi dan kolaborasi. Apakah dialog hari ini akan melahirkan terobosan damai untuk Ukraina atau sekadar meredam api di Taiwan? Jawabannya mungkin baru terlihat dalam minggu-minggu mendatang, tapi satu hal pasti: di era ketidakpastian ini, setiap jabat tangan adalah taruhan strategis.
Pewarta : Setiawan Wibisono

