RI News Portal. Jakarta, 10 November 2025 – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengonfirmasi bahwa kasus dugaan korupsi dalam pengadaan minyak mentah oleh Pertamina Energy Trading Ltd. (Petral) atau PT Pertamina Energy Services Pte. Ltd. (PES) telah resmi naik ke tahap penyidikan sejak Oktober 2025. Pengumuman ini menandai langkah paralel dengan upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang juga sedang mengembangkan penyidikan serupa, sehingga membuka peluang analisis mendalam terhadap mekanisme pengawasan di sektor energi nasional.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, menyatakan dalam pernyataan di Jakarta pada Senin bahwa proses penyidikan telah berjalan, meskipun belum ada penetapan tersangka. “Status kasus ini telah ditingkatkan menjadi penyidikan pada bulan lalu, dan kami sedang berkoordinasi intensif dengan KPK untuk menghindari tumpang tindih,” ujar Anang. Ia menekankan bahwa detail perkara masih dalam tahap pengumpulan bukti, dengan fokus pada potensi kerugian keuangan negara yang signifikan.
Sementara itu, KPK mengungkap bahwa penyidikan baru ini merupakan pengembangan dari dua kasus sebelumnya yang telah mencapai tahap vonis. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa temuan awal menunjukkan adanya indikasi korupsi tambahan dalam pengadaan minyak mentah dan produk jadi kilang minyak selama periode 2009-2015. “Pengembangan ini berawal dari perkara suap pengadaan katalis di PT Pertamina (Persero) pada 2012-2014, yang melibatkan Chrisna Damayanto sebagai tersangka. Ia pernah menjabat Direktur Pengolahan Pertamina sekaligus Komisaris Petral,” kata Budi.

Kasus kedua yang menjadi dasar pengembangan adalah dugaan suap dalam perdagangan minyak dan produk jadi kilang minyak pada 2012-2014, dengan Bambang Irianto sebagai tersangka. Bambang, yang menjabat Managing Director PT PES dari 2009 hingga 2013, sebelumnya adalah Direktur Utama Petral hingga digantikan pada 2015. Menurut Budi, pola ini mengindikasikan potensi konflik kepentingan di tingkat manajemen, di mana jabatan ganda memungkinkan pengaruh tidak semestinya terhadap keputusan pengadaan.
Para ahli hukum dan ekonomi energi menilai kasus ini sebagai cerminan sistemik dari kerentanan sektor hulu migas terhadap praktik koruptif. Dr. Lina Murniati, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa koordinasi antarlembaga seperti Kejagung dan KPK krusial untuk membongkar jaringan yang melibatkan entitas luar negeri seperti Petral di Singapura. “Periode 2009-2015 mencakup transisi kebijakan energi pasca-reformasi, di mana pengadaan minyak mentah sering kali melibatkan markup harga atau seleksi vendor tidak transparan, yang berpotensi merugikan negara hingga triliunan rupiah,” analisisnya.
Dari perspektif ekonomi, Prof. Faisal Basri, ekonom senior, menambahkan bahwa kasus Petral bukan sekadar isu korupsi individu, melainkan mencerminkan kegagalan tata kelola BUMN di tengah ketergantungan impor minyak. “Pengadaan melalui anak perusahaan luar negeri seperti PES memungkinkan penghindaran pengawasan domestik, yang pada akhirnya meningkatkan biaya operasional Pertamina dan membebani APBN,” katanya. Ia merekomendasikan reformasi struktural, termasuk audit forensik independen dan penerapan prinsip good corporate governance yang lebih ketat.
Hingga kini, baik Kejagung maupun KPK belum merinci nilai kerugian negara yang pasti, tetapi penyelidikan bersama diharapkan menghasilkan rekomendasi pencegahan jangka panjang. Kasus ini juga menyoroti urgensi penguatan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dalam konteks transaksi internasional, di mana yurisdiksi lintas negara menjadi tantangan utama. Masyarakat dan pemangku kepentingan energi diimbau untuk memantau perkembangan, mengingat implikasinya terhadap stabilitas harga bahan bakar dan keuangan publik.
Pewarta : Albertus Parikesit

