
RI News Portal. Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, 19 Oktober 2025 – Di tengah hembusan angin tropis yang menyapa pantai-pantai indah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Sulawesi Utara, sebuah badai tak kasat mata sedang menggerus fondasi kehidupan bermasyarakat. Fenomena maraknya akun anonim dan palsu di dunia maya tak lagi sekadar isu nasional, melainkan ancaman nyata bagi harmoni sosial dan kelancaran roda pemerintahan daerah. Penelitian terbaru dari Pusat Studi Komunikasi Digital Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) mengungkap bahwa 68 persen warga Sitaro mengaku pernah terpapar informasi palsu yang memelintir kebijakan pemerintah, dengan dampak langsung berupa penurunan kepercayaan publik hingga 42 persen dalam dua tahun terakhir.
Fenomena ini, yang disebut “opini bayangan” oleh para pakar komunikasi politik, telah menjadi senjata diam-diam yang meresahkan. “Akun tanpa wajah ini bukan hanya menyebarkan berita bohong, tapi juga memprovokasi emosi kolektif, memecah belah komunitas yang selama ini dikenal erat kekerabatannya,” ujar Dr. Maria L. Tumewu, dosen ilmu komunikasi UNSRAT dan peneliti utama studi berjudul Digital Shadows in Archipelagic Governance: The Case of Sitaro. Temuan riset ini, yang melibatkan survei terhadap 450 responden dari enam pulau utama Sitaro, menunjukkan bahwa 75 persen postingan provokatif berasal dari akun anonim, sering kali menjelang pemilihan kepala desa atau peluncuran program infrastruktur.

Contoh nyata terlihat pada program Jembatan Bahagia, inisiatif Pemkab Sitaro senilai Rp15 miliar untuk menghubungkan Pulau Biaro dengan Tagulandang. Kebijakan ini, yang dirancang untuk memangkas waktu tempuh nelayan dari tiga jam menjadi 30 menit, justru dilabeli “proyek korupsi elit” oleh serangkaian unggahan anonim. “Pernyataan Bupati yang menyambut baik dukungan investor dimanipulasi menjadi tuduhan nepotisme, padahal dokumen tender terbuka dan diaudit KPK,” jelas Bupati Sitaro, Christian R. Senduk, dalam wawancara eksklusif. Akibatnya, petisi online palsu mengumpulkan 2.500 tanda tangan virtual dalam seminggu, memaksa tim komunikasi pemkab menghabiskan 40 persen waktu kerja untuk klarifikasi—waktu yang seharusnya dialokasikan untuk monitoring kualitas bangunan.
Studi UNSRAT mengklasifikasikan dampak ini dalam tiga lapisan: erosi kepercayaan, polarisasi sosial, dan stagnasi pembangunan. Pada lapisan pertama, kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah anjlok dari 82 persen pada 2022 menjadi 48 persen tahun ini, berdasarkan indeks kepuasan warga. Polarisasi muncul ketika keluarga di Desa Onun Toweh terbelah akibat perdebatan online; satu sisi mendukung program, sisi lain terpengaruh narasi fitnah, hingga berujung laporan polisi antarwarga. Sementara itu, stagnasi pembangunan terlihat dari penundaan proyek irigasi di Pulau Makalehi, di mana anggaran Rp8 miliar terbengkalai karena tim pemkab terjebak siklus pembelaan reputasi digital.
UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 menjadi tameng hukum yang tegas, dengan Pasal 27 melarang penyebaran berita bohong dan Pasal 28 mengkriminalisasi fitnah hingga hukuman 6 tahun penjara. Namun, seperti ditegaskan Dr. Tumewu, “Penegakan hukum reaktif saja tak cukup; kita butuh pendekatan preventif berbasis literasi.” Riset UNSRAT merekomendasikan model “Sitaro Digital Shield”, sebuah kerangka tiga pilar yang unik untuk daerah kepulauan: (1) Akses informasi resmi melalui portal terintegrasi berbasis aplikasi mobile lokal, yang sudah diuji coba di 12 desa dengan tingkat adopsi 85 persen; (2) Kolaborasi triangulasi dengan jurnalis lokal, di mana setiap isu kebijakan diverifikasi bersama dalam waktu 24 jam; dan (3) Kurikulum literasi digital masadada, terintegrasi ke sekolah dasar dengan modul cerita rakyat Sitaro yang mengajarkan etika maya melalui nilai-nilai maju, sejahtera, damai, dan dasyat.
Inovasi ini membedakan Sitaro dari daerah lain: bukan sekadar pelatihan umum, tapi program berbasis cerita lisan Minahasa yang menjadikan tokoh legenda seperti Toar-Lumimuut sebagai metafor “penjaga kebenaran digital”. Pilot project di SMA Negeri 1 Tahuna melibatkan 300 siswa, menghasilkan penurunan penyebaran hoaks sebesar 62 persen dalam enam bulan. “Kami bukan melarang kritik, tapi mengajak warga jadi penyeleksi cerdas—filter, bukan amplifier,” tambah Senduk, yang berkomitmen alokasikan 5 persen APBD 2026 untuk ekspansi program.

Di balik tantangan, Sitaro menawarkan pelajaran berharga bagi Indonesia timur. Dengan populasi 70 ribu jiwa yang 92 persennya terhubung internet, kabupaten ini bisa menjadi model nasional jika warga bersatu. “Bayangkan jika energi provokasi dialihkan ke diskusi konstruktif: Jembatan Bahagia tak hanya fisik, tapi juga jembatan kepercayaan,” pesan Dr. Tumewu.
Panggilan aksi kini bergema dari setiap pulau: Mari bangun budaya digital masadada. Setiap unggahan adalah benih—pilih benih kebaikan, bukan duri fitnah. Kemajuan Sitaro tak lagi hanya dihitung dari jalan aspal atau pelabuhan baru, tapi dari kedewasaan warganya dalam menavigasi lautan informasi. Saat matahari terbenam di Selat Sitaro, harapan pun terbit: sebuah kepulauan yang tak tergoyahkan oleh bayangan digital.
Pewarta : Marco Kawulusan
