
RI News Portal. Jakarta, 3 Oktober 2025 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi mengumumkan penetapan 21 tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan dana hibah untuk kelompok masyarakat (Pokmas) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Timur periode 2019-2022. Pengungkapan ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat mantan Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak, pada Desember 2022, di mana ia divonis 9 tahun penjara atas kasus serupa.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa penetapan tersangka didasarkan pada kecukupan alat bukti hasil penyelidikan dan penyidikan mendalam. “Setelah dilakukan serangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan, maka berdasarkan kecukupan alat bukti, KPK kemudian menetapkan 21 orang sebagai tersangka,” ujar Asep dalam konferensi pers yang dikutip pada Jumat (3/10/2025).
Modus korupsi ini melibatkan penyusunan aspirasi yang tidak berbasis pada kebutuhan riil masyarakat, sehingga dana pokok pikiran (pokir) anggota DPRD justru menjadi ajang pembagian fee atau “bancakan” oleh oknum tertentu. Akibatnya, hanya sekitar 55-70 persen dari anggaran awal yang benar-benar digunakan untuk program masyarakat, sementara sisanya disalahgunakan melalui pemberian suap awal atau “ijon”. Total dana pokir yang dikelola mantan Ketua DPRD Jatim, Kusnadi, mencapai Rp398,7 miliar selama empat tahun, dengan dugaan commitment fee sebesar Rp32,2 miliar yang diterimanya.

Empat tersangka utama sebagai penerima suap adalah Kusnadi (mantan Ketua DPRD Jatim), Anwar Sadad (mantan Wakil Ketua DPRD Jatim yang kini anggota DPR RI), Achmad Iskandar (mantan Wakil Ketua DPRD Jatim), dan Bagus Wahyudiono (staf Anwar Sadad). Sementara itu, 17 tersangka lainnya berperan sebagai pemberi suap, termasuk anggota DPRD, pihak swasta, dan mantan kepala desa dari berbagai kabupaten seperti Sampang, Probolinggo, Tulungagung, Bangkalan, Pasuruan, Sumenep, Gresik, dan Blitar.
Beberapa di antaranya, seperti Hasanuddin (anggota DPRD Jatim 2024-2029 sekaligus pihak swasta dari Gresik) dan Moch Mahrus (pihak swasta Probolinggo yang kini anggota DPRD Jatim), menunjukkan keterlibatan aktor politik yang masih aktif. KPK juga telah menahan empat tersangka pemberi suap—Hasanuddin, Jodi Pradana Putra, Sukar (mantan kepala desa Tulungagung), dan Wawan Kristiawan—untuk 20 hari pertama, setelah mereka menjalani pemeriksaan. Satu tersangka lain, A. Royan, mangkir karena alasan kesehatan.
Baca juga : Industri Wisata Harus Berpijak pada Etika Ekologi, Kata Akademisi dan Aktivis
Dari perspektif akademis, kasus ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam mekanisme pokir legislatif yang seharusnya menjadi instrumen representasi aspirasi bottom-up, tetapi justru rentan terhadap kolusi antara legislator, koordinator lapangan (korlap), dan pihak swasta. Proposal dana hibah sering dibuat asal-asalan tanpa verifikasi lapangan, mengakibatkan proyek fisik berkualitas rendah dan kerugian negara yang masif. Hal ini sejalan dengan studi korupsi di Indonesia yang menyoroti bagaimana dana otonomi daerah menjadi “magnet” penyimpangan, di mana fee 15-20 persen untuk pimpinan DPRD menjadi praktik umum.
KPK kini melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) dengan Pemprov Jatim untuk mereformasi proses perencanaan dan penganggaran, mencegah rekurensi kasus serupa. Penyidik juga menyita aset seperti dua rumah senilai Rp3,2 miliar yang diduga dibeli dari hasil korupsi. Pengungkapan ini diharapkan menjadi momentum bagi penguatan integritas legislatif di tingkat provinsi, di mana aspirasi rakyat tak lagi menjadi alat eksploitasi.
Pewarta : Albertus Parikesit
