
RI News Portal. Jakarta, 24 September 2025 – Di tengah capaian inflasi nasional yang terkendali pada level 2,31 persen year-on-year (yoy) per Agustus 2025, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menekankan urgensi koordinasi lintas lembaga bagi pemerintah daerah (Pemda) yang masih bergulat dengan inflasi tinggi. Pendekatan ini tidak hanya bertujuan mengidentifikasi akar masalah, tetapi juga merumuskan strategi pengendalian yang berkelanjutan, mencerminkan prinsip governance berbasis data dalam pengelolaan ekonomi regional.
Dalam pernyataannya pada Selasa (23/9/2025), Tito Karnavian mengimbau Pemda untuk segera menggelar pertemuan bersama Badan Pusat Statistik (BPS) setempat, Perum Bulog, perwakilan Bank Indonesia, serta asosiasi pengusaha seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) atau Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). “Tolong duduk bersama untuk mencari penyebabnya apa,” ujarnya, menyoroti pentingnya kolaborasi ini dalam mendeteksi faktor-faktor seperti keterbatasan pasokan pangan, kenaikan tarif barang yang diatur pemerintah seperti air minum, hingga gangguan distribusi akibat cuaca ekstrem atau hambatan logistik.
Analisis akademis terhadap fenomena ini menunjukkan bahwa inflasi daerah sering kali dipengaruhi oleh variabel lokal yang tidak sepenuhnya tercermin dalam data nasional. Misalnya, praktik penimbunan oleh oknum bisa memperburuk disparitas harga, yang memerlukan evaluasi mendalam untuk memastikan transparansi rantai pasok. Tito menambahkan, “Itulah perlunya kita melakukan evaluasi,” seraya menggarisbawahi risiko jika inflasi dibiarkan melambung di atas 3,5 persen, yang dapat merugikan konsumen melalui lonjakan harga kebutuhan pokok.

Secara nasional, inflasi Agustus 2025 berada pada kisaran ideal pemerintah, yakni 2,5 persen plus minus 1 persen, yang mendukung keseimbangan antara produsen dan konsumen. Namun, Tito memperingatkan bahaya inflasi terlalu rendah—di bawah 1 persen—yang bisa menyulitkan petani, nelayan, dan industri karena harga jual tak menutup biaya produksi. “Keseimbangan antara menyenangkan produsen dan menyenangkan konsumen. Sehingga di angka 2,31 persen ini adalah angka yang sangat bagus sekali,” katanya, menggambarkan kondisi ini sebagai pencapaian optimal dalam kerangka kebijakan moneter dan fiskal.
Meski demikian, beberapa provinsi masih mencatat inflasi di atas ambang batas, termasuk Sumatera Utara (4,42 persen), Sulawesi Tengah, Papua Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua Pegunungan, Aceh, Riau, dan Sulawesi Barat. Data BPS menunjukkan variasi ini dipicu oleh faktor regional seperti deflasi di Papua dan kenaikan di Sumatra, yang menuntut intervensi targeted dari Pemda. Tito mendorong kepala daerah untuk intensif berkoordinasi, mengintegrasikan data BPS dengan operasional Bulog guna mengantisipasi fluktuasi.
Baca juga : Mendorong Kolaborasi Riset dan Usaha untuk Transmigrasi Berkelanjutan di Merauke
Perkembangan komoditas pangan menjadi sorotan khusus. Harga bawang merah mengalami penurunan signifikan pada minggu ketiga September 2025, dengan hanya 31 kabupaten/kota yang mencatat kenaikan—turun drastis dari 309 pada periode Agustus—sementara 303 daerah justru mengalami deflasi harga. “Ini yang menarik dan perlu diketahui apakah memang konsumsinya yang berkurang, kayaknya enggak. Atau mungkin karena sudah terjadi pemerataan distribusi,” analisis Tito, yang selaras dengan tren nasional di mana harga bawang merah turun hingga 3,83 persen dalam seminggu terakhir.
Sementara itu, komoditas beras mendapat perhatian melalui operasi pasar bersama Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas), yang berhasil menekan harga di banyak daerah. Update Bapanas per 20 September 2025 mencatat penurunan harga beras premium dan medium, dengan bawang merah nasional berada di Rp38.381 per kg—turun dari Rp41.084 per kg—mendukung stabilitas pangan secara keseluruhan.
Merepresentasikan model pengendalian inflasi berbasis kolaborasi, yang bisa menjadi blueprint bagi kebijakan ekonomi daerah di masa depan. Dengan memadukan data empiris BPS dan intervensi operasional Bulog, Pemda diharapkan mampu mengurangi disparitas regional, memastikan pertumbuhan inklusif yang seimbang antara produksi dan konsumsi.
Pewarta : Vie
