
RI News Portal. New York, 21 September 2025 – Di tengah hiruk-pikuk Manhattan, Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali menjadi pusat diplomasi dunia. Sidang Majelis Umum ke-80, yang dibuka sejak 9 September, memasuki fase krusial dengan tema “Better Together: 80 Years and More for Peace, Development, and Human Rights”. Tema ini bukan sekadar slogan, melainkan panggilan untuk memperkuat multilateralisme di era ketidakpastian global, di mana konflik, perubahan iklim, dan ketimpangan semakin saling terkait.
Sebagai peringatan 80 tahun berdirinya PBB, sidang tahun ini menekankan solidaritas antarnegara untuk memajukan perdamaian, pembangunan berkelanjutan, dan hak asasi manusia. Dari total 193 negara anggota, sebanyak 145 telah mengonfirmasi partisipasi mereka per 11 September, dengan 137 di antaranya diwakili oleh kepala negara atau pemerintahan, lima oleh wakil presiden, dan tiga oleh wakil perdana menteri. Angka ini mencerminkan minat tinggi terhadap agenda yang mencakup isu-isu mendesak, termasuk pengakuan Palestina sebagai negara berdaulat.
Indonesia, salah satu anggota pendiri PBB yang konsisten dalam advokasi isu global, turut ambil bagian dengan delegasi dipimpin Presiden Prabowo Subianto. Ini menandai kehadiran pertama seorang presiden Indonesia di sidang tahunan sejak satu dekade terakhir. Prabowo dijadwalkan berpidato pada sesi Debat Umum Tingkat Tinggi pada 23 September, tepat setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva. Pidatonya diharapkan menyoroti prioritas nasional, termasuk dukungan teguh terhadap kedaulatan Palestina.

Pembahasan pengakuan Palestina menjadi sorotan utama, di tengah eskalasi ketegangan di Timur Tengah. Sidang ini diharapkan menghasilkan resolusi yang, meskipun tidak mengikat secara hukum kecuali untuk kasus tertentu seperti pengakuan negara, membawa bobot moral signifikan. Beberapa negara Eropa dan sekutunya telah menyatakan niat untuk secara resmi mengakui Palestina, menandai pergeseran sikap yang potensial mengubah dinamika konflik Israel-Palestina.
Presiden Prancis Emmanuel Macron, misalnya, menyatakan kesiapan negaranya untuk mendeklarasikan pengakuan terhadap Palestina di depan Majelis Umum. “Langkah ini adalah bagian dari rencana perdamaian yang lebih luas untuk Timur Tengah,” ujar Macron, menekankan urgensi solusi dua negara. Serupa dengan itu, Perdana Menteri Kanada Mark Carney mengumumkan pengakuan resmi pada sidang ini, dengan alasan reformasi pemerintahan yang dijanjikan oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas. “Kanada bermaksud mengakui Negara Palestina pada Sidang Majelis Umum ke-80 PBB yang akan dilaksanakan pada September 2025,” kata Carney dalam konferensi pers baru-baru ini.
Baca juga : Perjuangan Asri Welas di Balik Layar Film Kang Solah From Kang Mak x Nenek Gayung
Gerakan ini tidak terbatas pada Prancis dan Kanada. Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noël Barrot menyebutkan bahwa Prancis bersama 14 negara lain telah mengeluarkan seruan kolektif untuk pengakuan Palestina, mengajak lebih banyak negara bergabung. Di antara negara yang baru pertama kali menyatakan niat serupa adalah Australia, Finlandia, Selandia Baru, Portugal, Andorra, Malta, San Marino, dan Luksemburg. Perubahan sikap ini, yang didorong oleh tekanan internasional atas kebijakan Israel belakangan ini, bisa memperkuat momentum menuju solusi dua negara.
Dari perspektif Indonesia, isu Palestina tetap menjadi prioritas. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) memastikan bahwa delegasi akan menyuarakan dukungan teguh, meski detailnya belum dirinci. “Tidak akan ada perdamaian abadi tanpa solusi dua negara. Jalan menuju perdamaian tetap satu, yakni terwujudnya Negara Palestina merdeka dan berdaulat dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya,” kata Sugiono, juru bicara Kemlu. Presiden Prabowo sendiri tiba di New York pada 20 September, setelah menghadiri Osaka Expo di Jepang, siap menyampaikan posisi Indonesia di panggung dunia.
Rangkaian acara sidang dimulai dengan pertemuan tingkat tinggi pada 22 September, pukul 09.00 waktu setempat, untuk memperingati 80 tahun PBB. Dilanjutkan pukul 10.00 dengan diskusi tentang 30 tahun Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan. Sore harinya, pukul 14.00 hingga 16.00, fokus pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), mengikuti amanat KTT SDG 2019. Puncaknya, pukul 15.00, adalah Konferensi Internasional Tingkat Tinggi untuk Penyelesaian Damai atas Masalah Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara, diketuai bersama oleh Prancis dan Arab Saudi. Konferensi ini bertujuan menggalang dukungan global untuk pelaksanaan solusi dua negara.
Sesi Debat Umum berlangsung dari 23 hingga 27 September, dilanjutkan pada 29 September, di mana para pemimpin dunia menguraikan visi mereka terhadap tantangan global. Selain itu, pertemuan paralel membahas isu seperti perubahan iklim, ekonomi berkelanjutan, dan pencegahan penyakit tidak menular.
Sidang ini bukan hanya forum diplomasi, melainkan cerminan evolusi multilateralisme pasca-Perang Dunia II. Dengan tema yang menekankan “better together”, PBB berupaya merevitalisasi komitmen kolektif di tengah fragmentasi geopolitik. Pengakuan Palestina, jika terealisasi, bisa menjadi preseden bagi resolusi konflik lain, meski tantangannya tetap besar mengingat veto potensial di Dewan Keamanan.
Indonesia, dengan sejarah panjang sebagai suara dari dunia berkembang, berada di posisi strategis untuk memengaruhi diskusi. Kehadiran Prabowo diharapkan tidak hanya menyuarakan aspirasi nasional, tapi juga memperkuat solidaritas Selatan Global. Di tengah tekanan terhadap Palestina, sidang ini bisa menjadi titik balik, didukung oleh pergeseran sikap Eropa yang semakin vokal. Namun, keberhasilan akhirnya bergantung pada aksi konkret pasca-sidang, bukan sekadar retorika.
Pewarta : Albertus Parikesit
