
RI News Portal. Padangsidimpuan, 21 September 2025 – Lebih dari sebulan sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan penetapan dua tersangka dalam dugaan penyalahgunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), masyarakat Tapanuli Selatan (Tapsel) dan wilayah Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) secara keseluruhan masih dirundung kegelisahan. Isu yang kian viral ini tidak hanya menyeret nama-nama tokoh nasional, tetapi juga memunculkan pertanyaan mendalam tentang transparansi pengelolaan dana publik di tingkat daerah, di mana nama Gus Irawan Pasaribu—kini menjabat sebagai Bupati Tapsel—terkait erat dengan penerimaan dana tersebut selama masa kepengurusannya di DPR RI Komisi XI periode 2019-2024.
Dalam pengembangan kasus yang diumumkan KPK pada Agustus lalu, dua mantan anggota Komisi XI DPR RI, yakni Satori dan Heri Gunawan, telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan korupsi penyaluran dana CSR senilai miliaran rupiah. Dana tersebut, yang seharusnya mendukung program sosial seperti pembagian sembako dan kegiatan reses, diduga dialirkan secara tidak transparan kepada sejumlah anggota dewan, termasuk 44 nama yang tercantum dalam daftar yang bocor ke publik. Nama Gus Irawan Pasaribu muncul sebagai salah satu penerima, dengan dugaan bahwa dana tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan politik di daerah pemilihannya. Namun, hingga kini, KPK belum mengumumkan pemanggilan atau pengembangan lebih lanjut terhadap nama-nama penerima lainnya, termasuk Gus Irawan, yang kini memimpin pemerintahan Tapsel.

Ketua Waktu Indonesia Bergerak (WIB) Cabang Tapanuli Selatan, yang enggan disebutkan namanya secara lengkap untuk alasan keamanan, menyuarakan kekecewaan mendalam atas stagnasi proses hukum ini. “KPK sudah menyatakan dua tersangka, tapi pengembangan ke penerima dana CSR seperti apa? Sudah selesai di situ saja? Sementara pemberitaan KPK menyebut nama Gus Irawan sebagai penerima saat beliau masih anggota DPR Komisi XI 2019-2024,” ujarnya dalam wawancara eksklusif dengan tim redaksi kami pekan lalu. Pernyataan ini mencerminkan keresahan yang meluas di kalangan aktivis lokal, di mana penundaan ini dipandang sebagai bentuk ketidakadilan yang merusak kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
Masyarakat Tapsel, yang mayoritas bergantung pada sektor pertanian dan perikanan, merasakan dampak langsung dari isu ini. Banyak warga yang awalnya mengharapkan dana CSR untuk program pemberdayaan ekonomi desa kini merasa dikecewakan. “Kami was-was. Kasus ini sudah viral di media sosial dan obrolan warung kopi, tapi KPK diam saja. Nama-nama penerima sudah diumumkan, termasuk Bupati kami sekarang, tapi tak ada pemanggilan. Ini seperti kasus yang menguap begitu saja,” kata seorang pedagang pasar di Sibolga, yang mewakili suara kolektif dari ratusan warga yang kami hubungi melalui survei informal. Kekhawatiran ini diperparah oleh sejarah panjang isu korupsi di Tabagsel, di mana aliran dana publik sering kali terhambat oleh jaringan politik yang rumit.
Baca juga : Wakapolri Tinjau SPPG Polri di Semarang: Langkah Strategis Menuju Generasi Emas 2045
Di tengah ketidakpastian ini, muncul inisiatif kolaboratif dari Organisasi Masyarakat Internasional untuk Integritas dan Cita-Cita Cemerlang (OMI ICC), sebuah jaringan aktivis diaspora yang berbasis di Jakarta. OMI ICC menyatakan kesiapannya untuk mengawal dokumen bukti dugaan penyalahgunaan dana CSR terkait Gus Irawan langsung ke Kantor Staf Presiden (KSP), sebagai upaya mempercepat penegakan hukum di tingkat eksekutif. Pimpinan OMI ICC, P. Hasibuan—putra asli Kecamatan Tantom, Tapsel, yang kini bermukim di Jakarta—menegaskan komitmen ini dalam percakapan telepon dengan wartawan kami pada 18 September lalu.
“Saya sebagai orang Tapanuli Selatan siap menghantarkan berita dan dokumen ini sampai ke KSP,” tegas Hasibuan dengan nada serius, menekankan bahwa inisiatif ini bukan sekadar pengaduan, melainkan panggilan untuk aksi kolektif. “Permasalahan di Tapanuli Selatan terlalu banyak yang mandek hanya di tahap pengaduan. Demi masyarakat Tapsel, mari kita kawal bersama kasus-kasus berkarat ini yang tak kunjung selesai.” Langkah OMI ICC ini diharapkan menjadi model baru dalam advokasi daerah, di mana diaspora memainkan peran sebagai penghubung antara isu lokal dengan agenda nasional, terutama dalam konteks pengawasan dana publik pasca-reformasi birokrasi.
Dari perspektif akademis, kasus ini menyoroti kerentanan mekanisme CSR lembaga keuangan negara terhadap penyalahgunaan politik. Sebagaimana dibahas dalam studi terbaru tentang tata kelola dana sosial di Indonesia, aliran dana CSR sering kali menjadi “grey area” di mana pengawasan lemah, terutama ketika melibatkan legislator yang memiliki pengaruh atas regulasi keuangan. Peneliti dari Universitas Sumatera Utara menyoroti bahwa viralitas isu di media sosial—seperti yang terjadi di Tapsel melalui grup WhatsApp dan Instagram—telah mempercepat tuntutan transparansi, tetapi juga berisiko memicu polarisasi jika tidak ditangani secara adil. Namun, tanpa pengembangan cepat dari KPK, kepercayaan publik terhadap program CSR bisa terkikis, berpotensi menghambat inisiatif pembangunan berkelanjutan di daerah tertinggal seperti Tabagsel.
Sementara itu, Kantor Bupati Tapsel belum memberikan tanggapan resmi terkait dugaan ini, meskipun Gus Irawan sebelumnya menyatakan bahwa dana tersebut digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. KPK, melalui saluran resminya, menjanjikan update berkala, tetapi masyarakat menunggu lebih dari sekadar janji. Di era di mana informasi mengalir deras melalui platform digital, kasus ini menjadi pengingat bahwa penegakan hukum harus selaras dengan harapan kolektif, bukan terjebak dalam labirin birokrasi.
Pewarta : Indra Saputra
