
RI News Portal. Jakarta, 20 September 2025 – Di tengah dinamika masyarakat multikultural Indonesia, kebebasan beragama sering kali menjadi isu sensitif yang memerlukan pendekatan holistik. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menegaskan bahwa konsep ini bukanlah entitas mandiri, melainkan harus diintegrasikan dengan prinsip supremasi hukum untuk menghindari degradasi menjadi slogan kosong tanpa aplikasi nyata. Pernyataan ini muncul dalam konteks diskusi literasi keagamaan lintas budaya, menyoroti bagaimana hukum berfungsi sebagai fondasi keadilan sosial.
Dalam acara Hybrid Upgrading Workshop Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang digelar di Jakarta pada Jumat lalu, Kepala BPSDM Hukum Kemenkumham, Gusti Ayu Putu Suwardani, menggarisbawahi peran krusial supremasi hukum. “Supremasi hukum adalah pilar yang memastikan kebebasan beragama tetap berada dalam koridor keadilan,” katanya, menekankan bahwa tanpa pengawalan hukum, kebebasan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakadilan atau konflik.
Mengacu pada pemikiran filsuf hukum klasik Albert Venn Dicey, Gusti Ayu menjelaskan konsep rule of law yang menuntut penerapan hukum secara egaliter, bebas dari diskriminasi dan arbitrer. Teori Dicey, yang pertama kali dikemukakan pada abad ke-19 dalam karyanya Introduction to the Study of the Law of the Constitution, menekankan tiga prinsip utama: supremasi hukum atas kekuasaan sewenang-wenang, kesetaraan di hadapan hukum, serta hak konstitusional yang dijamin oleh pengadilan. Di Indonesia, prinsip ini selaras dengan negara hukum Pancasila, yang tidak hanya mengejar kepastian hukum semata, tetapi juga menekankan substansi keadilan, kemanusiaan, dan peradaban.

Gusti Ayu membedakan antara rule by law—di mana hukum dijadikan instrumen kekuasaan—dengan rule of law yang menjamin keadilan autentik. Pendekatan ini, menurutnya, menjadi kunci dalam mewujudkan kerukunan antarwarga beragama, sejalan dengan fungsi negara modern untuk mempromosikan kesejahteraan sosial. Dalam perspektif akademis, hal ini menggemakan teori integrasi sosial Emile Durkheim, yang melihat solidaritas masyarakat sebagai hasil dari norma bersama, di mana hukum berperan sebagai perekat moral.
Untuk memperkuat integrasi nasional, Gusti Ayu mengusulkan beberapa strategi multidimensi. Pertama, penguatan ideologi Pancasila sebagai fondasi filosofis bangsa. “Pancasila sebagai ideologi negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia harus terus diperkuat serta dihayati oleh seluruh masyarakat,” ujarnya. Pancasila, dengan sila pertama yang menjamin ketuhanan yang maha esa, menjadi kerangka inklusif yang mampu menampung keragaman tanpa mengorbankan persatuan.
Kedua, promosi dialog dan kolaborasi lintas kelompok. Ini mencakup inisiatif seperti forum diskusi, pertukaran budaya, dan kegiatan sosial bersama yang melibatkan partisipasi aktif dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan budaya. Pendekatan ini mirip dengan model dialog interkultural Jurgen Habermas, yang menekankan komunikasi rasional untuk mencapai pemahaman bersama, sehingga mengurangi prasangka dan membangun kepercayaan.
Ketiga, pencapaian keadilan sosial-ekonomi untuk mencegah konflik akibat kesenjangan. Gusti Ayu menyoroti bahwa disparitas ekonomi sering menjadi pemicu perpecahan, sehingga upaya meratakan pembangunan dan mengentaskan kemiskinan esensial untuk memperkokoh persatuan. Dalam konteks ini, ia merujuk pada konsep keadilan distributif John Rawls, di mana kebijakan negara harus memprioritaskan kelompok paling rentan untuk mencapai masyarakat yang adil.
Terakhir, peningkatan peran sinergis antara lembaga swasta, instansi pemerintah, dan masyarakat sipil. “Sinergisitas antara ketiganya berperan untuk membuat program-program yang berperan untuk mendorong kerukunan dan pendidikan tentang bangsa, sehingga nilai-nilai persatuan dan kesatuan negara dapat ditanamkan dengan baik,” tambah Gusti Ayu. Kolaborasi ini dapat dianalogikan dengan model governance partisipatif, di mana aktor non-negara turut berkontribusi dalam pembentukan kebijakan, sebagaimana dibahas dalam studi tata kelola modern oleh para ahli seperti Elinor Ostrom.
Workshop ini, yang diikuti secara hybrid oleh peserta dari berbagai daerah, menjadi platform untuk mendiskusikan implementasi konkret dari prinsip-prinsip tersebut. Dalam era digital saat ini, di mana informasi keagamaan sering tersebar melalui media sosial, penguatan literasi menjadi semakin urgent untuk mencegah radikalisasi dan mempromosikan toleransi. BPSDM Hukum Kemenkumham berkomitmen untuk terus menggelar kegiatan serupa, guna membekali aparatur dan masyarakat dengan pemahaman mendalam tentang harmoni antara kebebasan beragama dan supremasi hukum.
Berita ini disusun dengan pendekatan jurnalistik akademis yang mengintegrasikan analisis teoritis untuk memberikan kedalaman, berbeda dari format media online konvensional yang lebih fokus pada ringkasan faktual. Pembaca diundang untuk berpartisipasi melalui komentar di bawah, berbagi pengalaman dialog lintas budaya, atau mengusulkan topik workshop mendatang guna memperkaya diskusi nasional.
Pewarta : Albertus Parikesit
