
RI News Portal. Lampung Barat, 19 September 2025 – Di lereng hijau yang biasanya menjadi saksi bisu perjalanan harian warga, guyuran hujan deras Jumat sore ini justru membuka luka lama: longsor dahsyat yang menggerus badan jalan penghubung vital antara Pasar Liwa di Kecamatan Balikbukit dan Pekon Tanjung Raya di Kecamatan Sukau. Lokasi bencana, tepat di turunan Way Robok di bawah Perumahan Seranggas, bukan sekadar insiden alam biasa—ia menjadi peringatan mendesak tentang bagaimana perubahan iklim dan kurangnya adaptasi infrastruktur mengancam kehidupan masyarakat pedesaan Lampung Barat.
Hujan yang mengamuk sejak pukul 14.00 hingga 16.00 WIB tak hanya membasahi tanah, tapi juga merendam badan jalan dan menyusup ke pemukiman warga di sekitar. Air deras yang meluap membawa serta tanah gembur, meninggalkan parit longsor selebar separuh lebar jalan. “Ini seperti bumi yang marah, separuh badan jalan sudah lenyap, terbawa arus ke jurang di sisi kiri,” ungkap Marni, seorang pedagang sayur yang sering melintasi rute ini untuk menyuplai kebutuhan Tanjung Raya. Pengalamannya sebagai saksi mata menggambarkan kekacauan: kendaraan roda empat berjuang merayap, sementara truk besar roda enam terpaksa berhenti total, memaksa pengemudi mencari jalur alternatif yang berliku dan berbahaya.

Penyebabnya, menurut Marni, bukan hanya intensitas hujan yang ekstrem, tapi juga desain jalan yang rentan. “Konstruksi jalan menurun curam, ditambah jurang dalam di sisi kiri dari arah Pasar Liwa. Air hujan yang deras langsung mengalir deras ke jurang, menggerus fondasi tanah hingga amblas,” jelasnya dengan nada khawatir. Kisahnya mencerminkan realitas yang lebih luas di wilayah pegunungan Lampung Barat, di mana curah hujan tahunan yang meningkat—seperti dicatat oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) naik 15% dibandingkan dekade sebelumnya—sering kali bertabrakan dengan infrastruktur yang dibangun puluhan tahun lalu, tanpa mempertimbangkan dinamika erosi tanah vulkanik khas daerah ini.
Dalam perspektif yang lebih akademis, longsor Way Robok ini bukan fenomena terisolasi, melainkan manifestasi dari degradasi lingkungan yang dipercepat oleh aktivitas manusia. Penelitian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2024 menyoroti bagaimana deforestasi di lereng Way Robok—akibat ekspansi perumahan seperti Seranggas—mengurangi daya serap air tanah hingga 30%, sehingga meningkatkan risiko longsor saat musim hujan. “Erosi ini seperti efek domino: hilangnya vegetasi akar membuat tanah longgar, hujan ekstrem menjadi pemicu, dan infrastruktur usang menjadi korban utama,” demikian analisis singkat dari Dr. Rina Susanti, pakar hidrologi dari Universitas Lampung, yang sering meneliti pola banjir di wilayah Sukau. Meski belum ada korban jiwa dilaporkan, dampak ekonomi sudah terasa: petani Tanjung Raya kesulitan mengirim hasil panen ke pasar, berpotensi merugikan hingga puluhan juta rupiah per hari, sementara anak sekolah terancam terlambat belajar akibat akses terputus.
Harapan Marni pun bergema di antara hembusan angin sore yang masih lembab: “Pemkab harus gerak cepat melalui BPBD dan Dinas PU. Perbaikan darurat esensial, atau longsor ini bisa membesar saat hujan berikutnya—air akan kembali mengalir ke parit longsor, memperlemah struktur lebih jauh.” Ia menekankan pentingnya bukan hanya tambal sulam, tapi intervensi holistik: penanaman vegetasi penahan erosi dan drainase modern yang bisa menyalurkan air tanpa menggerus tepi jalan.
Baca juga : Tragedi Bengawan Solo: Pria Tenggelam Ditemukan Meninggal Dunia
Respons pemerintah tampak sigap, meski masih dalam tahap awal. Mia Miranda, Pelaksana Harian Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Lampung Barat, membenarkan kejadian longsor di Way Robok. “Kami sudah menurunkan tim untuk memasang rambu peringatan dan police line, memastikan pengguna jalan waspada terhadap zona bahaya,” katanya saat dikonfirmasi via telepon. Miranda menjanjikan tinjauan mendalam: “Besok pagi, tim teknis akan melakukan survei detail, menghitung volume kerusakan, dan merancang penanganan sementara. Prioritas utama adalah membuka akses darurat sambil menyiapkan solusi jangka panjang, termasuk kajian geoteknik untuk mencegah rekurensi.”
Longsor Way Robok ini, di tengah musim hujan yang diprediksi BMKG berlanjut hingga Oktober, menjadi panggilan bagi kebijakan yang lebih adaptif. Bagi warga seperti Marni, ini bukan hanya soal jalan yang rusak, tapi masa depan komunitas yang bergantung pada harmoni antara alam dan pembangunan. Saat matahari terbenam di balik awan hitam, pertanyaan menggantung: akankah Lampung Barat belajar dari luka ini, atau longsor berikutnya akan datang lebih ganas? Hanya waktu—dan komitmen kita—yang akan menjawab.
Pewarta : IF
