
RI News Portal. Tapanuli Selatan — Masyarakat Angkola Timur dan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, telah lama merasa resah, geram, dan muak akibat konflik berkepanjangan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Konflik ini berpusat pada keberadaan perusahaan yang dianggap melakukan intimidasi dan provokasi terhadap masyarakat, terutama terkait pengelolaan tanah. Meski sudah beberapa kali menggelar aksi unjuk rasa dan berbagai upaya lainnya, termasuk keterlibatan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), masalah ini belum menemukan titik terang hingga Minggu, 14 September 2025.
Holil Pohan, salah satu warga Angkola Timur, menyatakan bahwa masyarakat tidak membutuhkan rumah, melainkan kejelasan atas hak tanah kebun mereka yang telah dikelola secara turun-temurun. “Kami bukan penggarap. Tanah ini warisan leluhur kami. Beberapa warga memang pernah mengalihkan sebagian hak milik karena kebutuhan mendesak, tetapi jika tidak terpaksa, kami tidak akan melakukannya,” ujar Holil.
Ia juga menyinggung Notulen Rapat Forkopimda pada 26 Agustus 2025, yang seharusnya mendorong Bupati Tapanuli Selatan untuk mendukung masyarakat dalam menyelesaikan konflik dengan PT TPL. Namun, Holil menilai bupati justru lebih fokus pada Program 3 Juta Rumah, yang merupakan prioritas pemerintah pusat untuk membangun rumah bagi ASN di area konsesi TPL seluas 4.577 hektare yang telah beralih status menjadi Area Penggunaan Lain (APL). “Kami tidak butuh rumah, kami ingin hak kami, kebun kami, lahan kami,” tegas Holil.

Siti, warga lainnya, menyampaikan pandangan serupa. Ia menilai Bupati Tapanuli Selatan, Gus Irawan Pasaribu, seharusnya bertindak tegas dan mendukung masyarakat yang hingga kini masih terkatung-katung tanpa kejelasan akibat tindakan PT TPL. “Dulu saat kampanye, visi misi bupati adalah membangun Tapanuli Selatan yang lebih baik, bukan seperti sekarang yang ibarat ayam kehilangan induk,” ungkap Siti.
PT TPL beroperasi di Tapanuli Selatan berdasarkan Izin Hutan Tanaman Industri (HTI) dari Menteri Kehutanan RI melalui SK Nomor 493/Kpts-II/1992 tertanggal 1 Juni 1992. Namun, keberadaan perusahaan ini telah memicu konflik tanah yang berkepanjangan tanpa penyelesaian yang memadai.
Pada 13 September 2025, Bupati Gus Irawan Pasaribu menyebutkan bahwa telah diadakan rapat koordinasi dengan Forkopimda, Kantor Pertanahan (ATR/BPN), PT TPL, BPHL II, BPKH Wilayah I, KPH VI, KKPH XI, dan camat terkait. Meski 4.577 hektare lahan konsesi TPL telah beralih menjadi APL, masyarakat masih kesulitan mengelola atau memperjualbelikan lahan tersebut karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) enggan menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atau memecah SHM.
Siti menyoroti sejumlah kejanggalan dalam penerbitan izin konsesi PT TPL, salah satunya adalah ketidaklibatan masyarakat dalam proses pemetaan tata batas. “Kami meminta bupati selaku ketua satgas daerah memerintahkan PT TPL menghentikan segala kegiatan sebelum tapal batas ditetapkan, baik di dalam maupun di luar konsesi. Kami juga menuntut kompensasi atas kebun masyarakat yang dirusak,” tegas Siti.
Baca juga : Temuan BPK 2024: Kelemahan Pengelolaan Keuangan Pemkot Tangerang Selatan Rugikan Negara
Ia juga memohon kepada Forkopimda, Bupati Gus Irawan Pasaribu, dan Ketua DPRD Rahmat Nasution untuk memberikan rasa nyaman dan keadilan kepada masyarakat. Siti mengancam bahwa jika tidak ada penyelesaian yang jelas, masyarakat Angkola Timur dan Sipirok akan menggelar aksi unjuk rasa yang lebih besar.
Sutan Sumuran Pulungan, warga lainnya, menyoroti visi misi PT TPL, khususnya misi nomor tiga yang menjanjikan keuntungan maksimal bagi pemangku kepentingan dan kontribusi terhadap pembangunan sosial-ekonomi masyarakat sekitar. “Namun, yang kami rasakan justru sebaliknya: kesengsaraan, intimidasi, dan provokasi dari PT TPL,” tutupnya.

Hak-Hak Dasar dan Regulasi
Konflik ini juga berkaitan dengan pelanggaran hak-hak dasar masyarakat, termasuk:
- Hak atas Tanah Adat
Undang-undang dan peraturan melindungi hak masyarakat adat atas tanah mereka, termasuk keberlanjutan wilayah adat dan penolakan terhadap penguasaan lahan oleh PT TPL. - Perlindungan Lingkungan
Peraturan terkait dampak lingkungan, seperti limbah yang mencemari sawah dan perairan, perlu ditindak secara hukum. - Penegakan Hukum dan Keadilan
Diperlukan mekanisme penegakan hukum untuk menindak kekerasan dan pelanggaran hak masyarakat oleh perusahaan, termasuk tindakan keamanan perusahaan. - UU Kehutanan
Memberikan landasan hukum untuk pengelolaan hutan yang menegaskan hak masyarakat adat. - UU Masyarakat Adat
Mengatur pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat yang sering menjadi korban penguasaan lahan oleh industri.
Konflik ini mencerminkan ketegangan antara kepentingan perusahaan dan hak masyarakat adat, yang hingga kini masih menunggu penyelesaian yang adil dan transparan.
Pewarta : Adi Tanjoeng
